Knowledge is Dead, Focus on Passion-based Learning -->

Iklan Semua Halaman

Knowledge is Dead, Focus on Passion-based Learning

Jumat, 22 Januari 2016
Kapan perang jawa atau perang diponegoro berkecamuk? Berapa tinggi Monas? Apa arti istilah “OK” dalam bahasa inggirs? Berapa panjang garis pantai Indonesia? Apa negara terbaru yang baru saja diterima oleh PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa)?

Jika anda bisa menjawab semua pertanyaan di atas, saya jamin anda masuk kategori cerdas sesuai dengan standar sistem pendidikan Indonesia. Jika hanya bisa menjawab kurang dari 2 atau bahkan tidak sama sekali sama sekali tidak masalah. Bukankah ada google atau bisa juga tanya lingkaran pertemanan anda di Twitter, Facebook, Path, atau lainnya. Dengan sedikit imajinasi dan usaha, anda dan siapa pun pasti bisa menjawab semua pertanyaan tersebut.
Begitu mudah cap cerdas atau bodoh, berprestasi atau bermasalah, rangking atau payah diberikan pada anak-anak kita atas nama standar keilmuwan dan kualitas pendidikan. Tidak sedikit orang-orang hebat dalam sejarah justru masuk dalam kategori orang kurang atau tidak cerdas menurut sistem pendidikan yang berlaku kala itu.
Isaac Newton, yang berhasil membuka rahasia grafitasi dan beragam teori pergerakan bintang dan planet. Albert Einstein, penggagas teori relativitas dan beragam teori astro-fisika juga tidak jauh berbeda. Sejak sekolah dasar hingga menengah dia masuk kategori lamban, kurang gaul dan tidak punya percaya diri.
Pernah membayangkan kalau penerus Isaac Newton, Albert Einstein, Thomas Edison, Nicola Tesla dan inovator besar lain, bisa jadi anak-anak yang sekarang dianggap tidak berprestasi, lamban dan payah?
Passioan spark curiosity and initiates lifetime learning. Otak Einstein yang didonasikan setelah pemiliknya wafat dibedah, dikaji, dan diteliti untuk memastikan esensi kejeniusan. Hasilnya? Otak tersebut sama sekali tidak berbeda dengan otak manusia lain.
Jika kapasitas dan karakteristik otak sama saja, yang membedakan adalah bagaimana otak tersebut digunakan. Imajinasi adalah konsekuensi dari kebebasan berpikir, variasi pengalaman, dan kemampuan observasi. Dan, setiap insan telah dititipkan serangkaian keasyikan, kesukaan dan kecintaan akan hal-hal dan aktivitas tertentu. Inilah Passion!
Passion lies in the activities that make you feel empowered – it’s the object of your fascination. Siapa pun pasti punya kecenderungan untuk lebih menikmati hal-hal tertentu melebihi. Pernah perhatikan rubrik atau tulisan tertentu yang selalu menyita perhatian saat membaca koran, buku, atau majalah? Bagaimana dengan topik obrolan yang kerap kali memancing partisipasi lebih lama dan banyak? Coba ingat-ingat siapa dan apa kiprah orang-orang yang paling anda kagumi? Oh, perhatikan juga aktivitas-aktivitas tertentu yang membuat diri merasa berdaya alias dimampukan, dan seterusnya. Inilah passion!
The best learning happenes in the field you are most passionate about. Jika passion menawarkan resep paling mudah untuk belajar, bertumbuh kembang (bukan kesuksesan lho!) dan setiap orang sudah pasti memilikinya, kenapa masih saja menyeragamkan pendidikan? Kenapa masih saja tidak memedulikan lentera jiwa atas nama nilai, kelulusan dan rangking?
Sudah waktunya lembaga pendidikan mengedepankan eksplorasi, passion sebagai titik awal belajar, bekerja, berkarya, berkreasi dan bertumbuh kembang. Sudah saatnya titik tumpu pendidikan didasarkan pada imajinasi dan inspirasi, bukan sekedar kurikulum dan nilai.
Imajinasi dan inspirasi bukan soal kemampuan bisa mengingat rumus, tanggal-tanggal penting dan khazanah ilmu pengetahuan. Imajinasi adalah kebebasan, keberanian, dan keasyikan berpikir. Inspirasi adalah soal jalinan interaksi emosional dan investasi waktu dengan sesama. Makhluk lain dan lingkungan.
Passion and imajination is priceless, kathleen flinn said many years ago: “You’re only limited by your passion and imajination. Be barve, be tru, and be open to possibilities.”

Rene Suhardono, Penulis dan Pembicara Publik, Terobsesi dengan People, Passion and Performance.