Kapan perang jawa atau perang diponegoro
berkecamuk? Berapa tinggi Monas? Apa arti istilah “OK” dalam bahasa inggirs? Berapa
panjang garis pantai Indonesia? Apa negara terbaru yang baru saja diterima oleh
PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa)?
Jika anda bisa menjawab semua pertanyaan di atas,
saya jamin anda masuk kategori cerdas sesuai dengan standar sistem pendidikan
Indonesia. Jika hanya bisa menjawab kurang dari 2 atau bahkan tidak sama sekali
sama sekali tidak masalah. Bukankah ada google atau bisa juga tanya lingkaran
pertemanan anda di Twitter, Facebook, Path, atau lainnya. Dengan sedikit
imajinasi dan usaha, anda dan siapa pun pasti bisa menjawab semua pertanyaan
tersebut.
Begitu mudah cap cerdas atau bodoh, berprestasi
atau bermasalah, rangking atau payah diberikan pada anak-anak kita atas nama
standar keilmuwan dan kualitas pendidikan. Tidak sedikit orang-orang hebat
dalam sejarah justru masuk dalam kategori orang kurang atau tidak cerdas
menurut sistem pendidikan yang berlaku kala itu.
Isaac Newton, yang berhasil membuka rahasia
grafitasi dan beragam teori pergerakan bintang dan planet. Albert Einstein,
penggagas teori relativitas dan beragam teori astro-fisika juga tidak jauh
berbeda. Sejak sekolah dasar hingga menengah dia masuk kategori lamban, kurang
gaul dan tidak punya percaya diri.
Pernah membayangkan kalau penerus Isaac Newton,
Albert Einstein, Thomas Edison, Nicola Tesla dan inovator besar lain, bisa jadi
anak-anak yang sekarang dianggap tidak berprestasi, lamban dan payah?
Passioan spark
curiosity and initiates lifetime learning. Otak
Einstein yang didonasikan setelah pemiliknya wafat dibedah, dikaji, dan
diteliti untuk memastikan esensi kejeniusan. Hasilnya? Otak tersebut sama
sekali tidak berbeda dengan otak manusia lain.
Jika kapasitas dan karakteristik otak sama saja,
yang membedakan adalah bagaimana otak tersebut digunakan. Imajinasi adalah
konsekuensi dari kebebasan berpikir, variasi pengalaman, dan kemampuan
observasi. Dan, setiap insan telah dititipkan serangkaian keasyikan, kesukaan
dan kecintaan akan hal-hal dan aktivitas tertentu. Inilah Passion!
Passion lies
in the activities that make you feel empowered – it’s the object of your fascination.
Siapa pun pasti punya kecenderungan untuk lebih menikmati hal-hal tertentu
melebihi. Pernah perhatikan rubrik atau tulisan tertentu yang selalu menyita
perhatian saat membaca koran, buku, atau majalah? Bagaimana dengan topik
obrolan yang kerap kali memancing partisipasi lebih lama dan banyak? Coba ingat-ingat
siapa dan apa kiprah orang-orang yang paling anda kagumi? Oh, perhatikan juga
aktivitas-aktivitas tertentu yang membuat diri merasa berdaya alias dimampukan,
dan seterusnya. Inilah passion!
The best
learning happenes in the field you are most passionate about.
Jika passion menawarkan resep paling mudah untuk belajar, bertumbuh kembang
(bukan kesuksesan lho!) dan setiap orang sudah pasti memilikinya, kenapa masih
saja menyeragamkan pendidikan? Kenapa masih saja tidak memedulikan lentera jiwa
atas nama nilai, kelulusan dan rangking?
Sudah waktunya lembaga pendidikan mengedepankan
eksplorasi, passion sebagai titik awal belajar, bekerja, berkarya, berkreasi
dan bertumbuh kembang. Sudah saatnya titik tumpu pendidikan didasarkan pada
imajinasi dan inspirasi, bukan sekedar kurikulum dan nilai.
Imajinasi dan inspirasi bukan soal kemampuan bisa
mengingat rumus, tanggal-tanggal penting dan khazanah ilmu pengetahuan. Imajinasi
adalah kebebasan, keberanian, dan keasyikan berpikir. Inspirasi adalah soal
jalinan interaksi emosional dan investasi waktu dengan sesama. Makhluk lain dan
lingkungan.
Passion and
imajination is priceless, kathleen flinn said many years ago: “You’re only
limited by your passion and imajination. Be barve, be tru, and be open to
possibilities.”
Rene
Suhardono, Penulis dan Pembicara Publik, Terobsesi dengan People, Passion and Performance.