Presiden harus pandai-pandai
mengambil manfaat dari polemik terbuka tentang rencana pengembangan lapangan
gas abadi, Blok Masela, yang terletak di Laut Arafuru, Maluku.
Polemik terjadi antara Menteri Koordinator Bidang
Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli yang didukung para tokoh Indonesia timur
dan praktisi migas dari Forum 73 ITB di satu pihak, dengan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Sudirman Said dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang dikuatkan oleh pendapat konsultan
independen Poten & Partners yang disewa pemerintah di pihak lain. Sekalipun
Menko Bidang Maritim dan Sumber Daya, Menteri ESDM, dan SKK Migas semua masih
dalam jangkauan presiden, perbedaan itu tak perlu ditutup- tutupi.
Peristiwa itu adalah gejala baru yang justru
bermanfaat karena semangat perbedaan itu untuk menemukan pilihan terbaik bagi
kepentingan bangsa. Bagi pemerintah, polemik yang dilontarkan secara terbuka
itu adalah proses dialogis positif yang akan makin memperkukuh landasan putusan
yang akan diambil.
Paling menguntungkan
Saat ini pengembangan Blok Masela memasuki tahap
menunggu persetujuan revisi plant of development yang
telah disampaikan kontraktor kontrak kerja sama Inpex Masela Ltd [beranggota
Inpex Corporation (65 persen) dari Jepang dan Shell Upstream Overseas Services
(35 persen) dari Belanda] kepada pemerintah.
Revisi ini untuk mengganti front end engineering design kilang
terapung berkapasitas 2,5 juta metriks ton per tahun (MTPA) yang telah disetujui
pemerintah pada September 2014 diubah menjadi berkapasitas 7,5 MTPA dengan
nilai investasi 14,8 miliar dollar AS, menyusul ditemukannya cadangan gas baru.
Setelah revisi itu mendapat persetujuan, tahap
selanjutnya adalah keputusan akhir investasi. Masalahnya sekarang: proses
tersebut kini terhenti karena pemerintah belum menyetujui revisi yang diajukan
kontraktor. Pemerintah lewat Menko Maritim dan Sumber Daya masih
mempertimbangkan pilihan lain yang lebih efisien dengan usul membangun
fasilitas pengolahan di daratan terdekat dengan cara membangun pipa dari lokasi
tambang ke lokasi pengolahan.
Kedua pilihan ini diklaim masing-masing pengusul
sebagai pilihan terbaik dan paling menguntungkan bagi Indonesia. Kini tiba
saatnya bagi presiden menentukan pilihan setidaknya dengan parameter berupa:
(a) konsistensi kesesuaian pilihan dengan amanat konstitusi karena gas adalah
komoditas vital dari dalam bumi Indonesia yang wajib dikuasai negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat; (b) pilihan tersebut adalah yang paling
efisien dan membawa kemaslahatan maksimal bagi generasi mendatang karena proyek
ini adalah proyek jangka panjang; dan (c) serta adil bagi semua pihak, termasuk
kepentingan masyarakat di sekitar lokasi dan bagi kontraktor.
Polemik terbuka di atas adalah wajar, bahkan perlu
dilazimkan. Di era sekarang masyarakat harus diberi akses selebar-lebarnya
untuk berperan serta karena pengelolaan sumber daya alam strategis dan vital,
seperti gas alam bukanlah domain mutlak pemerintah. Selain untuk menghindari
kontroversi dan kecurigaan, sisi baiknya adalah didapat berbagai tambahan
pertimbangan yang komprehensif.
Selama ini masyarakat merasa ditinggalkan serta
kurang diberi akses dan kesempatan berperan serta. Pemerintah cenderung
memonopoli persoalan, bahkan menutup-nutupi demi keuntungan segelintir oknum,
kroni, kekuatan kelompok, dan golongan.
Apa pun yang akan dipilih pemerintah, jika hubungan
kontrak antara Indonesia dan Inpex Masela Ltd adalah kontrak bagi hasil, maka
yang paling menguntungkan bagi Indonesia adalah fasilitas pengolahan yang
berbiaya ringan, tetapi tak merongrong pembiayaan dari waktu ke waktu.
Dalam
sistem kontrak ini, berapa pun dana yang akan dikeluarkan untuk membangun
fasilitas kilang pengolahan, baik di darat maupun terapung di laut, biaya itu
akan ditanggung rakyat Indonesia melalui mekanisme pemulihan biaya. Biaya
produksi yang telah dikeluarkan kontraktor akan dibayar kembali dari hasil
produksi sebelum dilakukan bagi hasil bagi kedua belah pihak sesuai dengan
kesepakatan.
Namun, harus juga dipertimbangkan bahwa Blok Masela
seluas 4.291,35 kilometer persegi, terletak 153 km dari Pulau Babar di sebelah
selatan dan 146 km dari Pulau Yamdena di sebelah barat daya, adalah lokasi
sulit. Secara geologis ia labil karena berada di daerah palung pertemuan
(pergeseran) Lempeng Benua Australia dan Lempeng Benua Eurasia dan Lempeng
Pasifik yang dikitari gunung berapi.
Pertemuan lempeng itu menyebabkan terbentuknya
paparan luas yang kemudian disebut Paparan Sahul dan Paparan Arafura dengan
kedalaman palung 500 meter hingga 1.000 meter di bawah permukaan laut. Kesemua
itu tentu membutuhkan kontraktor andal dalam keahlian dan pembiayaan. Saat ini
kontraktor belum dapat menuai hasil, tetapi yang pasti terus kehilangan jangka
waktu kontrak pengelolaan blok yang demi hukum harus berakhir pada 2028.
Kepentingan lokal
Tanpa bermaksud mengecilkan komitmen kita sebagai
bangsa dalam bingkai NKRI, pengembangan Blok Masela harus lebih memperhatikan
aspirasi dan kepentingan masyarakat di daerah sekitar. Pemerintah wajib memberi
tempat layak kepada aspirasi itu. Ini adalah momentum yang tepat bagi
pemerintah untuk membuat kebijakan adil yang mampu mengurangi ketimpangan
antara kawasan barat dan timur Indonesia.
Tuhan telah membuka mata kita dengan Blok Masela
yang terletak di batas timur Indonesia dan selama ini kurang dapat perhatian
dalam pembangunan. Blok ini bercadangan terbukti gas yang sangat besar,
mencapai 10,73 triliun kaki kubik. Blok ini terletak di 155 km dari Kota
Saumlaki di Pulau Tanimbar, ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Sisi
selatannya berada di perbatasan perairan Indonesia dengan Australia atau 400 km
sebelah utara Darwin.
Wilayah ini akan jadi pusat pertumbuhan ekonomi
karena Blok Masela juga dikelilingi blok besar milik Australia (Gorgon, Itchis,
dan Prelude). Semua ini mesti membawa kita lebih bijaksana, adil, dan aspiratif
dalam mengelolanya.
Pengembangan Blok Masela diyakini akan membawa
dampak turutan di wilayah sekitar lokasi yang berada di tengah antara provinsi
Indonesia yang masih tertinggal: Maluku, NTT, dan Papua. Pemerintah harus
konsisten menerapkan paradigma baru dalam pengelolaan sumber energi sebagai
motor pertumbuhan ekonomi dengan mencipakan kawasan hunian dan ekonomi baru di
sekitar sumber energi. Manusialah yang mengikuti sumber energi, bukan
sebaliknya (Peta Jalan Kebijakan Gas, ESDM, 2014-2030).
Daerah ini dulu dikenal sebagai tempat pembuangan
pahlawan pendiri bangsa. Pantaslah wilayah ini dapat hadiah dan berkah dari
hasil pengembangan Blok Masela: pengembangan wilayah di sekitar yang kelak
membawa dampak berantai bagi kemajuan wilayah Indonesia timur. Pemerintah yang
baik pantang mewariskan masalah dan prahara bagi generasi mendatang karena gas
alam adalah anugerah yang dipercayakan Tuhan untuk seluruh bangsa Indonesia.
Jangan biarkan anugerah itu jadi kutukan yang memecah belah bangsa.
JUNAIDI ALBAB SETIAWAN, Advokat/Pengamat Hukum
Migas
Dilansir dari: www.kompas.com