Mengaji Puisi Santri -->

Iklan Semua Halaman

Mengaji Puisi Santri

Rabu, 25 Februari 2015

Judul Buku   : Bandara Tangisan Penyair
            (Kumpulan Puisi dan Cepen Komunitas Persi)
Penulis          : Muhammad Ali Tsabit, dkk
Penerbit         : Gambang Yogyakarta
Cetakan         : 1, Januari 2015
Tebal              : v+99; 14 x 19 cm
ISBN               : 978-602-7731-58-5
Peresensi      : Subaidi Pratama

Puisi dalam kehidupan santri merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan, sebab diantara keduanya saling memiliki hubungan yang sangat akrab dan intens. Kegiatan sehari-hari santri tidak terlepas dari bacaan-bacaan berupa syair (kitab nadhaman) yang memiliki bunyi serupa dengan larik puisi. Semisal kitab-kitab nahwu (Imriti & Alfiah), karangan Ibnu Malik dari Andalusia.

Bagi kalangan santri, nadhaman adalah kitab yang selalu diaji setiap hari, sehingga mendorong jiwa santri mencintai puisi. Karena di dalam kitab nadhaman tersebut mengandung syair-syair yang hampir sama dengan unsur-unsur teks puisi. Baik secara intrinsik maupun ekstrinsik.

Selain itu, lahirnya Komunitas-Komunitas sastra yang berada di lingkungan pendidikan pesantren, mentransformasi talenta-kreatifitas santri dalam menulis, membaca dan mengkaji karya-karya sastra (puisi). Buku-buku bacaan yang diterbitkan para santri di pesantren seperti Buletin, Majalah, serta selebaran-selebaran lain selalu ada banyak tempat untuk kolom sastra. Artinya di sini, sastra (puisi) terus dikembangkan dan dihidupkan oleh kaum santri di tengah lingkungan yang sentral ilmu keagamaan itu.

Di lingkungan pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep Madura khususnya, para santri selain mempelajari ilmu-ilmu keagamaan, menulis puisi adalah pelarian untuk mendapatkan ilmu pengetahuan lain selain ilmu agama dari kitab-kitab yang dibaca. Berangkat dari itulah, kecintaan para santri dalam menguasai ilmu berbeda-beda. Faktanya, ada yang pandai membaca kitab dan menjadi orang alim, ada yang pandai berpolitik dan menjadi politikus, ada yang pandai menulis dan menjadi penulis/penyair, dll. Tetapi dari ketiga hal demikian tidak lantas menafikan nilai-nilai etika ke-pesantren-an. Segala proses di pesantren menentukan kehidupan santri di masa depan. Dan semuanya tergantung pada sebuah pilihan.

Hadirnya buku kumpulan puisi dan cerpen "Bandara Tangisan Penyair" ini adalah sebuah pilihan menjadi penulis/penyair. Di mana semua penulisnya yang masih berstatus santri harus berani bertanggung jawab menentukan nasib masa depan.

Buku kumpulan puisi dan cerpen bersama, Komunitas PERSI (Penyisir Sastra Iksabad) ini, menyajikan tema-tema dialektika kehidupan pesantren secara implisit. Keberanian yang diungkap beberapa penulisnya dalam gejolak batinnya melalui kata-kata sastra bukan hanya persoalan spiritual ketuhanan. Beragam nilai sosial pesantren dimunculkan dalam setiap tema serta judul puisi dan cerpennya.

Kedekatan Santri Dengan Kiai

Kedekatan yang dialami santri (penulisnya) dengan Kiai (pengasuh) tidak hanya sebatas perasaan-emosional yang terpendam sia-sia di dalam jiwa. Namun, menjelma keberanian cinta yang nyata. Seperti penggalan puisi berikut yang ditulis Khalifatun Nisa', //Ada embun menjalar, sejuk pada ruang jiwa/ tiba-tiba angin menelusup/ membawa dzikir parau/ segumpal kekaguman pada sosok insan pilihan kusematkan/ meski memikul sakit tak ingin beliau bacakan// "Mengenang Waktu" (hal. 35).

Bahkan setelah Kiai wafat, (baca, K.H. A. Warits Ilyas pengasuh PP. Annuqayah Daerah Lubangsa), semua santri, alumni dan masyarakat sekitar merasakan kehilangan yang begitu dalam-menyedihkan. Dalam ini, Arits Em.Ha merasakan kesedihan yang tidak hanya dirasakan mengiris jiwa manusia, dia mampu menangkapnya ke dalam bentuk kata-kata puisi yang ikut melarutkan duka selain manusia. Lalu pembaca seakan merasakan hal yang sama. //Sampai saat ini hujan tak kunjung padam/ di antara keramain orang-orang menshalatkan/ kepulanganmu ke liang lahat/ setelah talqin sempat terbacakan/ gigil malam semakin memecah tangis kepada Tuhan// "22 Februari" (hal. 51).

Tema sosial dan cinta kerap jadi bumbu dalam setiap karya puisi remaja, tak terkecuali beberapa santri yang menulis buku ini. Mereka rata-rata tergolong penulis pemula yang masih belajar. Tetapi ketekunannya dalam “mengaji” puisi sangat perlu diapresiasi. Meminjam bahasa Mahendra (Penyair Madura), dalam esainya yang dijadikan penutup dalam buku ini."Bagi teman-teman Persi, puisi seperti medan pencarian kedirian, yang melanglang buana kegelisahan pribadi". Ketuhanan, keagamaan, sosial, rindu dan cinta, serta sebab akibatnya sering berkelindan sebagai igauan hati masing-masing. Semuanya merupakan pengalaman panjang pribadinya, yang direkam dan dicatat menjadi kumpulan puisi dalam buku ini.

Walaupun berdirinya Komunitas Persi yang berada di naungan IKSABAD (Ikatan Santri Batang-Batang Dungkek) masih tergolong muda di Annuqayah, akan tetapi perkembangannya sangat cepat dalam mempelajari dunia sastra. Beberapa karya puisi dan cerpen anggotanya, banyak dimuat di Majalah Horison dan media cetak lokal maupun nasional. Semua Anggotanya menekuni proses aktifitas dan rutinitas yang intens serta sungguh-sungguh.

Buku kumpulan puisi dan cerpen ini, merupakan buku ke-5 yang diterbitkan Komunitas Persi setiap akhir periode kepengurusan. Berikut urutan judulnya: "Setandan Rindu, Kembala Air Mata, Wasiat Darah, Kado Rindu Dalam Jejak, dan Bandara Tangisan Penyair" yang terbit kali ini. Semua buku tersebut ditulis para santri yang tergabung dalam Komunitas Persi untuk dijadikan sebagai dokumentasi. Tetapi buku ke-5 ini sedikit berbeda, diterbitkan dengan keberanian santri sebagai sumbangsih sastra dari Pesantren untuk pembaca yang lebih luas.

Kini masyarakat pecinta sastra khusunya, perlu “mengaji” puisi-puisi santri yang termaktub dalam buku ini. Karena di dalamnya mengandung nilai-nilai religius-sosial pesantren, yang tidak dimiliki kalangan penulis sastra di luar non pesantren.

*Subaidi Pratama, menyukai sastra, Mahasiswa Universitas Tribhuawa Tunggadewi (Unitri) Malang.