Judul Buku : Bandara Tangisan Penyair
(Kumpulan Puisi dan Cepen
Komunitas Persi)
Penulis :
Muhammad Ali Tsabit, dkk
Penerbit :
Gambang Yogyakarta
Cetakan :
1, Januari 2015
Tebal :
v+99; 14 x 19 cm
ISBN :
978-602-7731-58-5
Peresensi : Subaidi Pratama
Puisi
dalam kehidupan santri merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan, sebab
diantara keduanya saling memiliki hubungan yang sangat akrab dan intens.
Kegiatan sehari-hari santri tidak terlepas dari bacaan-bacaan berupa syair (kitab
nadhaman) yang memiliki bunyi serupa
dengan larik puisi. Semisal kitab-kitab nahwu (Imriti & Alfiah), karangan Ibnu Malik dari Andalusia.
Bagi
kalangan santri, nadhaman adalah
kitab yang selalu diaji setiap hari,
sehingga mendorong jiwa santri mencintai puisi. Karena di dalam kitab nadhaman tersebut mengandung syair-syair
yang hampir sama dengan unsur-unsur teks puisi. Baik secara intrinsik maupun
ekstrinsik.
Selain
itu, lahirnya Komunitas-Komunitas sastra yang berada di lingkungan pendidikan
pesantren, mentransformasi talenta-kreatifitas santri dalam menulis, membaca
dan mengkaji karya-karya sastra (puisi). Buku-buku bacaan yang diterbitkan para
santri di pesantren seperti Buletin, Majalah, serta selebaran-selebaran lain
selalu ada banyak tempat untuk kolom sastra. Artinya di sini, sastra (puisi)
terus dikembangkan dan dihidupkan oleh kaum santri di tengah lingkungan yang
sentral ilmu keagamaan itu.
Di
lingkungan pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep Madura khususnya, para
santri selain mempelajari ilmu-ilmu keagamaan, menulis puisi adalah pelarian
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan lain selain ilmu agama dari kitab-kitab yang
dibaca. Berangkat dari itulah, kecintaan para santri dalam menguasai ilmu
berbeda-beda. Faktanya, ada yang pandai membaca kitab dan menjadi orang alim,
ada yang pandai berpolitik dan menjadi politikus, ada yang pandai menulis dan
menjadi penulis/penyair, dll. Tetapi dari ketiga hal demikian tidak lantas
menafikan nilai-nilai etika ke-pesantren-an. Segala proses di pesantren menentukan
kehidupan santri di masa depan. Dan semuanya tergantung pada sebuah pilihan.
Hadirnya
buku kumpulan puisi dan cerpen "Bandara Tangisan Penyair" ini adalah
sebuah pilihan menjadi penulis/penyair. Di mana semua penulisnya yang masih
berstatus santri harus berani bertanggung jawab menentukan nasib masa depan.
Buku kumpulan
puisi dan cerpen
bersama, Komunitas PERSI (Penyisir Sastra Iksabad) ini, menyajikan tema-tema
dialektika kehidupan pesantren secara implisit. Keberanian yang diungkap
beberapa penulisnya dalam gejolak batinnya melalui kata-kata sastra bukan hanya
persoalan spiritual ketuhanan. Beragam nilai sosial pesantren dimunculkan dalam
setiap tema serta judul
puisi dan cerpennya.
Kedekatan Santri Dengan Kiai
Kedekatan
yang dialami santri (penulisnya) dengan Kiai (pengasuh) tidak hanya sebatas
perasaan-emosional yang terpendam sia-sia di dalam jiwa. Namun, menjelma
keberanian cinta yang nyata. Seperti penggalan puisi berikut yang ditulis
Khalifatun Nisa', //Ada embun menjalar,
sejuk pada ruang jiwa/ tiba-tiba angin menelusup/ membawa dzikir parau/
segumpal kekaguman pada sosok insan pilihan kusematkan/ meski memikul sakit tak
ingin beliau bacakan// "Mengenang Waktu" (hal. 35).
Bahkan
setelah Kiai wafat, (baca, K.H. A. Warits Ilyas pengasuh PP. Annuqayah Daerah
Lubangsa), semua santri, alumni dan masyarakat sekitar merasakan kehilangan
yang begitu dalam-menyedihkan. Dalam ini, Arits Em.Ha merasakan kesedihan yang
tidak hanya dirasakan mengiris jiwa manusia, dia mampu menangkapnya ke dalam
bentuk kata-kata puisi yang ikut melarutkan duka selain manusia. Lalu pembaca
seakan merasakan hal yang sama. //Sampai
saat ini hujan tak kunjung padam/ di antara keramain orang-orang menshalatkan/
kepulanganmu ke liang lahat/ setelah talqin sempat terbacakan/ gigil malam
semakin memecah tangis kepada Tuhan// "22 Februari" (hal. 51).
Tema sosial
dan cinta kerap jadi bumbu dalam setiap karya puisi remaja, tak terkecuali beberapa santri yang
menulis buku ini. Mereka
rata-rata tergolong penulis pemula yang masih belajar. Tetapi ketekunannya
dalam “mengaji” puisi sangat perlu diapresiasi. Meminjam bahasa Mahendra (Penyair
Madura), dalam esainya yang dijadikan penutup dalam buku ini."Bagi
teman-teman Persi, puisi seperti medan pencarian kedirian, yang melanglang
buana kegelisahan pribadi". Ketuhanan, keagamaan, sosial, rindu dan cinta,
serta sebab akibatnya sering berkelindan sebagai igauan hati masing-masing.
Semuanya merupakan pengalaman panjang pribadinya, yang direkam dan dicatat
menjadi kumpulan puisi
dalam buku ini.
Walaupun
berdirinya Komunitas Persi yang berada di naungan IKSABAD (Ikatan Santri
Batang-Batang Dungkek) masih tergolong muda di Annuqayah, akan tetapi
perkembangannya sangat cepat dalam mempelajari dunia sastra. Beberapa karya
puisi dan cerpen anggotanya, banyak dimuat di Majalah Horison dan media cetak
lokal maupun nasional. Semua Anggotanya menekuni proses aktifitas dan rutinitas
yang intens serta sungguh-sungguh.
Buku kumpulan puisi dan cerpen ini,
merupakan buku ke-5 yang diterbitkan Komunitas Persi setiap akhir periode
kepengurusan. Berikut urutan judulnya: "Setandan
Rindu, Kembala Air Mata, Wasiat Darah, Kado Rindu Dalam Jejak, dan Bandara Tangisan Penyair" yang
terbit kali ini. Semua buku tersebut ditulis para santri yang tergabung dalam Komunitas
Persi untuk dijadikan sebagai dokumentasi. Tetapi buku ke-5 ini sedikit berbeda,
diterbitkan dengan keberanian santri sebagai sumbangsih sastra dari Pesantren untuk pembaca
yang lebih luas.
Kini
masyarakat pecinta sastra khusunya, perlu “mengaji” puisi-puisi santri yang
termaktub dalam buku
ini. Karena di dalamnya mengandung nilai-nilai religius-sosial pesantren, yang
tidak dimiliki kalangan penulis sastra di luar non pesantren.
*Subaidi Pratama, menyukai sastra, Mahasiswa
Universitas Tribhuawa Tunggadewi (Unitri) Malang.