Oleh:
Akh. Muzakki*
ADA dua
kata yang beririsan makna: mengeja dan membaca. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, mengeja berarti melafalkan (menyebutkan) huruf-huruf satu demi satu.
Membaca bermakna melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan
melisankan atau hanya dalam hati).
Tentu membaca memiliki derajat kualitas yang lebih
tinggi daripada mengeja. Namun, ujung dari dua kata itu adalah memahami atau
mendapatkan pemahaman yang baik atas suatu objek. Hanya, bedanya, mengeja itu
tahapan paling awal sebelum membaca dalam artian yang lebih utuh dari proses
memahami suatu objek.
Untuk sampai ke pemahaman yang baik itu, ada
prasyarat yang harus dipenuhi. Ada ejaan yang harus diikuti. Ada kaidah-kaidah
cara menggambarkan bunyi-bunyi, yang diwakili kata atau kalimat dan semacamnya,
yang harus diikuti. Bentuknya adalah tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan
tanda baca.
Beberapa hari belakangan, publik penasaran dengan
ikhtiar para kiai sepuh se-Jawa Timur. Diawali dengan pertemuan 21 kiai sepuh
yang kemudian melahirkan surat bersama yang ditujukan kepada Gus Halim Iskandar
dalam kapasitasnya sebagai ketua DPW PKB Jawa Timur serta calon gubernur Jawa
Timur pada pilkada 2018.
Selanjutnya, isi surat tersebut lebih dikonkretkan
lagi melalui serangkaian pertemuan para kiai sepuh di sejumlah titik di Jawa
Timur: Pesantren Lirboyo, Kediri, dan Pesantren Genggong, Probolinggo
(24/5/2017); lalu Pesantren Bumi Sholawat Lebo, Sidoarjo (25/5/2017).
Nah, untuk sampai pada pemahaman yang baik terhadap
langkah para kiai sepuh itu, ada sejumlah ”tanda baca” yang harus dieja dan
dibaca dengan penuh saksama. Dalam perspektif pakar linguistik Ferdinand de
Saussure, sejumlah tanda baca tersebut berisi sekaligus berfungsi sebagai
penanda (signifier) atas sejumlah kecenderungan yang menjadi petanda
(signified).
Langkah para kiai sepuh itu ibarat tulisan-tulisan
yang tersusun dengan maksud tertentu. Rangkaian pertemuan untuk
mengkristalisasi pikiran dan gagasan yang ditumpahkan dalam musyawarah tersebut
adalah kata dan tanda baca yang digunakan sebagai simbol untuk mengungkapkan
isi pikiran serta tindakan mereka.
Ada dua tanda baca penting yang dikirim para kiai
sepuh melalui langkah-langkah itu. Pertama, tanda hubung. Tanda baca itu
dikirim untuk menyambungkan unsur-unsur internal yang berjumlah lebih dari
satu. Dalam konteks Pilgub Jatim 2018, nama-nama yang mengemuka dari kalangan
internal NU antara lain Saifullah Yusuf (Gus Ipul), Halim Iskandar, dan
Khofifah Indar Parawansa. Karena itulah, surat 21 kiai sepuh hanya ditujukan
kepada Gus Halim Iskandar sebagai tokoh NU pimpinan partai yang sudah
menyatakan diri sebagai cagub Jatim 2018, bukan ke partai lain walau kader NU
tersebar lintas partai.
Tanda hubung dipakai para kiai sepuh untuk
menyambungkan tokoh-tokoh politik NU yang mengemuka. Kepentingannya, agar tidak
bertabrakan, lalu berserakan. Jadi, pesan tanda hubung oleh para kiai sepuh
sederhana: Mereka tidak memikirkan selain urusan rumah tangga keluarga NU
sendiri.
Tidak ditemukan pernyataan dan atau klausul hasil
musyawarah para kiai sepuh yang mengajak, apalagi memaksa-maksa, rumah tangga
lain untuk mengikuti keputusan dan atau kesepakatan mereka. Yang mereka
pikirkan dan tekankan hanya urusan rumah tangga sendiri yang jumlahnya sangat
besar.
Tanda baca itu sekaligus menampik tudingan
sejumlah pemerhati sementara ini bahwa para kiai sepuh sedang melakukan
intervensi politik kepada warga masyarakat. Sebab, para kiai sepuh itu tidak
sedang mengajak dan memaksa rumah tangga ”orang lain” untuk taklid buta. Bahwa
kemudian yang lain menjadikan tanda baca itu sebagai referensi, sungguh
keputusan itu merupakan pilihan rasional yang sangat dimungkinkan.
Tanda baca yang berupa tanda hubung tersebut
terasa penting untuk dikirimkan para kiai sepuh menyusul besarnya jumlah
kepengikutan (followership) NU. Akibatnya, NU muncul ibarat gadis cantik yang
diperebutkan banyak pria, sejati atau bahkan hidung belang sekalipun. Yang
datang mendekati NU dalam kaitan dengan kontestasi politik memiliki motif
macam-macam. Mulai yang tulus, setulus pria sejati yang sedang mengharapkan
cinta sejati sang gadis, hingga yang abal-abal, yang hanya mau ”mengisap”
manisnya cinta sang gadis.
Tanda hubung itu makin berarti saat dikaitkan
dengan kebutuhan sinergi daripada kompetisi. Bahkan, PKB pun mengafirmasi fakta
tersebut. Penjelasan Thoriqul Haq dari DPW PKB Jatim (Jawa Pos, 26/5/2017) bisa
menjadi bukti. ”Komunikasi sudah terjalin dengan baik antara Pak Halim dari
legislatif dan Gus Ipul sebagai eksekutif. Para kiai tidak ingin kombinasi yang
sudah klop itu terganggu dengan adanya perpecahan kubu dalam pemilih NU.”
Kedua, para kiai sepuh juga sedang mengirimkan
tanda seru sebagai bagian dari tanda baca yang penting untuk diperhatikan.
Tanda seru itu dikirim para kiai sepuh untuk menyeru dan memerintahkan
kesungguhan buat merespons tantangan dan ancaman yang ada di depan mata.
Penggunaan tanda seru tersebut bisa dilihat dari
delapan hasil musyawarah kubro para kiai sepuh di Pesantren Bumi Sholawat Lebo,
Sidoarjo. Mayoritas membicarakan kondisi serta ancaman bangsa dan negara, mulai
maraknya radikalisme-terorisme, mendesaknya penegakan keadilan, hingga
pentingnya pendidikan keagamaan. Hanya satu bagian akhir yang membicarakan
pilkada Jatim.
Alih-alih pecah keluarga, para kiai sepuh menyeru
kaum nahdliyin beserta tokoh politiknya untuk mewaspadai tantangan dan ancaman
itu. Tanda seru tersebut bak gayung bersambut. Gus Halim Iskandar yang awalnya
didorong kader PKB Jatim untuk maju sebagai cagub akhirnya menerima pesan
penting para kiai sepuh.
Dengan mendasarkan diri pada kaidah ushul fiqh
”assiyasatu mabniyatun ’ala ’aqidatiha (politik dibangun di atas dasar ideologi
yang diyakini)”, dia menerima sepenuhnya dawuh para kiai sepuh. ”Saya yakin
sebagai seorang santri, kader-kader PKB akan patuh pada dawuh-nya para kiai dan
menjunjung tinggi garis keputusan partai,” tulis Gus Halim Iskandar dalam kolom
opini Khidmat PKB kepada NU (Jawa Pos, 27/5/2017).
Tanda baca telah digelontorkan para kiai sepuh.
Mengeja tanda baca itu adalah awal untuk bisa memahami makna simbolis yang
terdalam di baliknya. Selanjutnya, pertanyaannya bersentuhan dengan bagaimana
tanda baca itu digunakan? Dan, itu kembali kepada kecerdasan dan kebijaksanaan
para pemangku kepentingan secara keseluruhan. Wallahu a’lam. (*)
*Sekretaris
PW NU Jawa Timur dan guru besar UIN Sunan Ampel, Surabaya.
Komentar