Ketimpangan di Kota Melonjak -->

Iklan Semua Halaman

Ketimpangan di Kota Melonjak

Senin, 22 Februari 2016
Ketimpangan pendapatan penduduk di perkotaan melonjak. Kondisi ini terlihat pada kenaikan rasio gini perkotaan dari 0,43 pada September 2014 menjadi 0,47 per September 2015. Peningkatan ini diduga akibat urbanisasi yang semakin deras.

Rasio gini perkotaan itu lebih buruk daripada rasio gini nasional yang secara rata-rata sebesar 0,41. Kondisi sebaliknya, rasio gini di perdesaan mengalami penurunan dari 0,34 pada September 2014 menjadi 0,27 pada September tahun 2015.

Rasio gini adalah ukuran ketimpangan pendapatan secara keseluruhan yang angkanya berkisar 0 hingga 1. Angka 0 berarti pemerataan yang sempurna, sedangkan angka 1 menunjukkan ketimpangan yang sempurna. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016, rasio gini turun menjadi 0,39.

Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Bambang Widianto, seusai mengikuti rapat koordinasi yang dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kamis (4/2), di Kantor Wapres, Jakarta, mengatakan, angka kemiskinan dari September 2014 ke September 2015 mengalami kenaikan. Hal itu diikuti oleh memburuknya ketimpangan, terutama ketimpangan di perkotaan yang melebar. Seperti dilansir dari print.kompas.com Kamis, 4 September 2016.

"Kondisi ini harus diatasi segera dan diperlukan upaya sinergis dari berbagai kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah untuk mengatasi masalah ini," kata Bambang.

Rapat tersebut diikuti, antara lain, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, dan sejumlah pejabat lainnya.

"Salah satu penyebab ketimpangan adalah akses pelayanan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar serta pertumbuhan kesejahteraan yang tidak merata akibat perbedaan kualitas pekerjaan," kata Bambang.

Migrasi

Menanggapi ketimpangan yang tecermin dari rasio gini terbaru itu, Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sonny Harry Budiutomo Harmadi mengatakan, peningkatan rasio gini di kota dan berkurangnya rasio gini di desa merupakan potret dari migrasi penduduk miskin desa ke kota. Mereka mencari nafkah di kota dan pada umumnya bekerja di sektor informal. Hal ini terjadi karena desa sudah tidak lagi memberikan nafkah.

"Jadi, kota kelimpahan penduduk dari kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Pada saat yang sama, biaya hidup di kota semakin tinggi," kata Sonny.

Di tempat terpisah, peneliti The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi, berpendapat, meningkatnya rasio gini di perkotaan merupakan sesuatu yang masuk akal. Hal ini terkait kebijakan ekonomi nasional dan kebijakan pemerintah kota.

Pembangunan ekonomi nasional yang bertumpu pada komoditas, pertambangan, konsumsi, dan investasi menyebabkan orientasi ekonomi berpusat ke kota. Sementara kebijakan di perkotaan umumnya tidak ramah pada sektor informal yang menjadi sumber hidup masyarakat miskin.

"Dalam hal alokasi ruang, contohnya. Pemerintah kota rata-rata menempatkan sektor informal sebagai musuh kota," kata Palupi.

Sementara berkurangnya rasio gini di desa, menurut Palupi, bisa dibaca dari beberapa kemungkinan. Pertama, bisa jadi dana desa dan remitansi menggerakkan perekonomian desa sehingga mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi desa.

Kemungkinan kedua, kondisi itu bisa diartikan bahwa urbanisasi kian marak. Penduduk desa yang tidak memiliki aset ekonomi di desa mau tidak mau hijrah ke kota dan mencari nafkah di sektor informal.

"Indikasinya, jumlah penduduk kota bertambah pesat. Jumlah petani berkurang banyak. Jumlah daerah pengirim TKI (tenaga kerja Indonesia) juga bertambah banyak," kata Palupi.

Langkah pemerintah

Terkait dengan masalah ini, dalam rapat itu diputuskan, pemerintah memacu integrasi data berkaitan dengan pengentasan rakyat dari kemiskinan dan pertumbuhan kesejahteraan penduduk untuk memastikan alokasi anggaran dan program terpadu yang tepat sasaran. Pemerintah juga akan membuat sejumlah kebijakan untuk mempercepat program pengentasan rakyat dari kemiskinan, terutama terkait tata niaga pangan dan peningkatan daya beli masyarakat.

Seusai rapat, Puan Maharani menyampaikan, Wapres mengarahkan agar efektivitas anggaran kementerian dan lembaga ditingkatkan untuk mengintervensi daerah yang paling membutuhkan. Basis data penerima manfaat program perlindungan sosial, seperti Jaminan Kesehatan Nasional dan pendidikan, juga harus diperbaiki.

Puan meminta Kementerian Sosial agar memperkuat persiapan perluasan Program Keluarga Harapan (PKH) dengan memastikan data keluarga peserta. Hal ini untuk mencegah orang yang tidak berhak menerima dana PKH dan pihak yang tidak sesuai kriteria malah mendapatkannya.

"Kami ingin sinergi data yang nanti akan dilakukan bersama- sama BPS. Pemerintah berkepentingan menggunakan basis data terpadu agar ke depan tidak tumpang tindih membantu masyarakat," kata Puan.

Kalla juga meminta agar data terpadu terbuka dan bisa diakses publik sehingga kemudian masyarakat yang berhak cukup memegang satu kartu akses untuk menikmati layanan kesehatan dan pendidikan gratis. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menambahkan, sinergi data itu akan menyinkronkan data kartu-kartu perlindungan sosial dengan kartu tanda penduduk elektronik.

"Masyarakat miskin mendapatkan bantuan sosial. Masyarakat kelas menengah akan mendapatkan penguatan usaha ekonomi produktif," ujar Khofifah.

Kenaikan harga pangan

Kenaikan harga pangan selama ini, terutama beras, dinilai sangat berpengaruh terhadap peningkatan kemiskinan di Indonesia. Pasalnya, beras sebagai komponen utama masyarakat miskin dikonsumsi hingga 29 persen dari 65 persen komponen bahan makanan dalam garis kemiskinan. Padahal, pendapatan orang miskin tak sebanding dengan pengeluarannya untuk membeli bahan pokok beras tersebut.

"Dengan kenaikan harga beras sebesar 10 persen, jumlah orang miskin akan meningkat 330.031 orang. Adapun kenaikan harga beras mencapai 40 persen akan menambah jumlah orang miskin 1.320.123 orang," kata Bambang. (Uha)