Ketimpangan pendapatan penduduk
di perkotaan melonjak. Kondisi ini terlihat pada kenaikan rasio gini perkotaan
dari 0,43 pada September 2014 menjadi 0,47 per September 2015. Peningkatan ini
diduga akibat urbanisasi yang semakin deras.
Rasio gini perkotaan itu lebih buruk daripada rasio
gini nasional yang secara rata-rata sebesar 0,41. Kondisi sebaliknya, rasio
gini di perdesaan mengalami penurunan dari 0,34 pada September 2014 menjadi
0,27 pada September tahun 2015.
Rasio gini adalah ukuran ketimpangan pendapatan
secara keseluruhan yang angkanya berkisar 0 hingga 1. Angka 0 berarti
pemerataan yang sempurna, sedangkan angka 1 menunjukkan ketimpangan yang
sempurna. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016, rasio gini turun
menjadi 0,39.
Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan Bambang Widianto, seusai mengikuti rapat koordinasi
yang dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kamis (4/2), di Kantor Wapres,
Jakarta, mengatakan, angka kemiskinan dari September 2014 ke September 2015
mengalami kenaikan. Hal itu diikuti oleh memburuknya ketimpangan, terutama
ketimpangan di perkotaan yang melebar. Seperti dilansir dari print.kompas.com Kamis, 4 September 2016.
"Kondisi ini harus diatasi segera dan
diperlukan upaya sinergis dari berbagai kementerian, lembaga, dan pemerintah
daerah untuk mengatasi masalah ini," kata Bambang.
Rapat tersebut diikuti, antara lain, Menteri
Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri
Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, dan sejumlah pejabat lainnya.
"Salah satu penyebab ketimpangan adalah akses
pelayanan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar serta pertumbuhan
kesejahteraan yang tidak merata akibat perbedaan kualitas pekerjaan," kata
Bambang.
Migrasi
Menanggapi ketimpangan yang tecermin dari rasio
gini terbaru itu, Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sonny Harry
Budiutomo Harmadi mengatakan, peningkatan rasio gini di kota dan berkurangnya
rasio gini di desa merupakan potret dari migrasi penduduk miskin desa ke kota.
Mereka mencari nafkah di kota dan pada umumnya bekerja di sektor informal. Hal
ini terjadi karena desa sudah tidak lagi memberikan nafkah.
"Jadi, kota kelimpahan penduduk dari kelompok
masyarakat berpendapatan rendah. Pada saat yang sama, biaya hidup di kota
semakin tinggi," kata Sonny.
Di tempat terpisah, peneliti The Institute for
Ecosoc Rights, Sri Palupi, berpendapat, meningkatnya rasio gini di perkotaan
merupakan sesuatu yang masuk akal. Hal ini terkait kebijakan ekonomi nasional
dan kebijakan pemerintah kota.
Pembangunan ekonomi nasional yang bertumpu pada
komoditas, pertambangan, konsumsi, dan investasi menyebabkan orientasi ekonomi
berpusat ke kota. Sementara kebijakan di perkotaan umumnya tidak ramah pada
sektor informal yang menjadi sumber hidup masyarakat miskin.
"Dalam hal alokasi ruang, contohnya.
Pemerintah kota rata-rata menempatkan sektor informal sebagai musuh kota,"
kata Palupi.
Sementara berkurangnya rasio gini di desa, menurut
Palupi, bisa dibaca dari beberapa kemungkinan. Pertama, bisa jadi dana desa dan
remitansi menggerakkan perekonomian desa sehingga mengurangi kesenjangan
sosial-ekonomi desa.
Kemungkinan kedua, kondisi itu bisa diartikan bahwa
urbanisasi kian marak. Penduduk desa yang tidak memiliki aset ekonomi di desa
mau tidak mau hijrah ke kota dan mencari nafkah di sektor informal.
"Indikasinya, jumlah penduduk kota bertambah
pesat. Jumlah petani berkurang banyak. Jumlah daerah pengirim TKI (tenaga kerja
Indonesia) juga bertambah banyak," kata Palupi.
Langkah
pemerintah
Terkait
dengan masalah ini, dalam rapat itu diputuskan, pemerintah memacu integrasi
data berkaitan dengan pengentasan rakyat dari kemiskinan dan pertumbuhan
kesejahteraan penduduk untuk memastikan alokasi anggaran dan program terpadu
yang tepat sasaran. Pemerintah juga akan membuat sejumlah kebijakan untuk
mempercepat program pengentasan rakyat dari kemiskinan, terutama terkait tata
niaga pangan dan peningkatan daya beli masyarakat.
Seusai
rapat, Puan Maharani menyampaikan, Wapres mengarahkan agar efektivitas anggaran
kementerian dan lembaga ditingkatkan untuk mengintervensi daerah yang paling
membutuhkan. Basis data penerima manfaat program perlindungan sosial, seperti
Jaminan Kesehatan Nasional dan pendidikan, juga harus diperbaiki.
Puan
meminta Kementerian Sosial agar memperkuat persiapan perluasan Program Keluarga
Harapan (PKH) dengan memastikan data keluarga peserta. Hal ini untuk mencegah
orang yang tidak berhak menerima dana PKH dan pihak yang tidak sesuai kriteria
malah mendapatkannya.
"Kami
ingin sinergi data yang nanti akan dilakukan bersama- sama BPS. Pemerintah
berkepentingan menggunakan basis data terpadu agar ke depan tidak tumpang
tindih membantu masyarakat," kata Puan.
Kalla
juga meminta agar data terpadu terbuka dan bisa diakses publik sehingga
kemudian masyarakat yang berhak cukup memegang satu kartu akses untuk menikmati
layanan kesehatan dan pendidikan gratis. Menteri Sosial Khofifah Indar
Parawansa menambahkan, sinergi data itu akan menyinkronkan data kartu-kartu
perlindungan sosial dengan kartu tanda penduduk elektronik.
"Masyarakat
miskin mendapatkan bantuan sosial. Masyarakat kelas menengah akan mendapatkan
penguatan usaha ekonomi produktif," ujar Khofifah.
Kenaikan harga pangan
Kenaikan
harga pangan selama ini, terutama beras, dinilai sangat berpengaruh terhadap
peningkatan kemiskinan di Indonesia. Pasalnya, beras sebagai komponen utama
masyarakat miskin dikonsumsi hingga 29 persen dari 65 persen komponen bahan
makanan dalam garis kemiskinan. Padahal, pendapatan orang miskin tak sebanding
dengan pengeluarannya untuk membeli bahan pokok beras tersebut.
"Dengan
kenaikan harga beras sebesar 10 persen, jumlah orang miskin akan meningkat
330.031 orang. Adapun kenaikan harga beras mencapai 40 persen akan menambah
jumlah orang miskin 1.320.123 orang," kata Bambang. (Uha)
Komentar