BANYAK diskusi Pancasila seringkali tertuju pada
Sila Pertama, "Ketuhanan yang Maha Esa". Memang ada presedennya, yang
terkini adalah merebaknya sikap intoleran dan sentimen antar agama.
Meskipun
hal itu sebenarnya bukan fenomena yang berdiri sendiri melainkan
berkelindan dengan anasir ekonomi-politik. Sinyalemen itu dibaca oleh
beberapa intelektual Indonesia dalam Jurnal Maarif, "Setelah Aksi Bela
Islam: Gerakan Sosial Islam, Demokratisasi dan Keadilan Sosial", rilis
Desember 2016 lalu.
Di sisi lain, OXFAM (2017) beberapa bulan lalu
merilis laporannya tentang ketimpangan sosial-ekonomi di Indonesia.
Dalam keterangannya OXFAM menyebut bahwa kekayaan 4 miliader Indonesia
sejumlah 25 miliar dolar AS, setara dengan kekayaan 100 juta penduduk
miskin. Belum lagi ditambah dengan data Indonesia peringkat ke tujuh
dalam indeks kapitalisme kroni dunia (2016).
Dalam konteks seperti
itulah kita perlu membaca Pancasila secara dialektik daripada
doktriner. Membaca secara dialektik artinya berangkat dari kondisi
material yang ada (das sein) daripada berangkat dari klaim ideal (das sollen).
Secara
doktriner kita diajarkan membaca dari Sila Pertama berurutan sampai ke
Sila Kelima; Membaca dialektik justru sebaliknya, berangkat dari sila
yang paling problematis.
Sila Kelima
Alih-alih
memulainya dari Sila Pertama, cara baca dialektik itu dimulai dari Sila
Kelima, "Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia".
Spektrum
masalahnya yakni kondisi-kondisi apa yang memungkinkan terpenuhinya atau
tidak nilai keadilan sosial. Data-data beberapa tahun terakhir
menggambarkan dengan pasti: Indonesia berada pada derajat keadilan yang
rendah.
World Bank (2015) menemukan satu persen orang terkaya di
Indonesia menguasai 50,3 persen aset bangsa ini. Penguasaan aset ini
seperti perbankan, tanah, sawit, pertambangan, properti, telekomunikasi
dan seterusnya.
Modusnya persis yang diungkapkan The Economist
(2016), yakni sebuah skema kapitalisme kroni yang bekerja lewat
kelindan: penguasa - pengusaha dengan mencari rente (rent seeking) di
antara keduanya. Meminjam sinisme Rizal Ramli "Dwifungsi Pepeng",
pejabat - pengusaha.
Ujungnya yakni konsentrasi kekayaan pada
segelintir orang dengan meninggalkan remah-remah roti untuk diperebutkan
puluhan juta penduduk lainnya.
Bila kita lacak lewat kontribusi
terhadap PDB (2016), yang merebutkan remah roti itu sebanyak 107 juta
orang tenaga kerja di mana 96 persennya adalah usahawan mikro dan kecil.
Konsentrasi
kekayaan itu hanya beredar di 4.987 perusahaan besar dengan kontribusi
pada PDB sebesar 39 persen yang hanya menyerap 3 juta tenaga kerja.
Tentu
saja di puncak piramid perusahan itu bertengger usahawan nasional kita
yang kerap muncul nama-namanya di deretan orang kaya versi Forbes atau Fortune.
Ketimpangan makin terlihat bila kita mau masuk lebih dalam pada akses kapital antara Si Besar dengan Si Kecil.
Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) tahun 2016 merilis bahwa sebaran kredit UMKM hanya
18,45 persen dari total plafon kredit perbankan 4.000 triliun.
Sementara
Si Besar dapat mengakses sampai 81,55 persen yang itu tentu saja
berkorelasi dengan skema kapitalisme kroni berupa fasilitas kemudahan.
Sila Keempat
Dengan
timpangnya akses dan distribusi kekayaan nasional, Sila Keempat dan
Ketiga menjadi rapuh. "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan".
Sila itu merujuk pada bangunan demokrasi politik Indonesia. Gejala keroposnya Sila Keempat adalah money politic yang berkembang pada tiap suksesi politik.
Syafrudin
Karimi dalam orasi Guru Besarnya menyampaikan "Manifesto Demokrasi
Ekonomi" (2010). Kata dia, minusnya akses ekonomi yang berkeadilan
melahirkan ekses politik yang serius: lahirnya pasar jual-beli suara.
Itu
senada yang diungkapkan Mohammad Hatta (1933) beberapa dasawarsa silam.
Demokrasi politik harus berdampingan dengan demokrasi ekonomi dan
sebaliknya.
Demokrasi politik minus demokrasi ekonomi hanya
melahirkan panggung politik yang nir-kualitas. Proses seleksi politik
menjadi rendah mutunya dengan preseden mutakhir misalnya bermunculannya
dinasti politik yang oligarkis.
Di sisi lain, demokrasi politik tak paralel dengan capaian dengan kesejahteraan masyarakat. Keduanya menjadi terpisah.
Lebih
dalam lagi, patronase politik membuat ruang publik Habermasian menjadi
ilusif. Yang ada hanyalah sinisme: membela yang bayar, bukan yang benar.
Modus kekiniannya adalah "pasukan nasi bungkus" (Panasbung).
Dengan
puluhan hingga ratusan ribu rupiah orang dapat digiring untuk menolak
atau menerima suatu kebijakan. Caranya tentu lewat pengerahan massa.
Fenomena "Panasbung" merupakan gejala rendahnya kualitas demokrasi
politik kita.
Sila Ketiga
Kualitas rendah
itu berujung pada ancaman pada Sila Ketiga, "Persatuan Indonesia".
Berbagai kekecewaan terhadap kebijakan ekonomi-politik menyatu padu
dengan politik identitas yang hari ini menguat. Hasilnya, masyarakat
terbelah.
Adagium lama ada benarnya, "Setiap peristiwa politik
selalu menyisakan residu sosial". Residu itu berupa kentalnya rasa
prasangka agama, etnis, kelas dan sebagainya.
Persatuan Indonesia
tentu saja idiom yang berdimensi sosial-politik. Dimana persatuan
menyaratkan keberterimaan satu sama lain, termasuk dalam perbedaan
afilisiasi politik, latar belakang etnis, agama, kelas sosial dan
seterusnya.
Derajat keberterimaan itu mengalami korosi akibat
politik yang banal dan anti akal sehat. Belum lagi ditambah seliweran
hoax di media sosial membuat derajat korosi makin pekat.
Menariknya,
seperti "Panasbung", adanya hoax adalah tindakan yang disengaja untuk
melakukan pembelokan informasi. Sudah rahasia umum saban event politik para buzzer dan hoax creator berkeliaran di ruang-ruang maya.
Habermas (1989), filosof Jerman itu, mungkin tersenyum kecut melihat media sosial sebagai ideal type ruang publiknya; Di saat yang bersamaan, ruang publik justru sumber dan penyebarluasan distorsi informasi.
Sila Kedua
Tak seperti event
politik yang temporer dengan hasil kalah-menang, residu sosial
cenderung mengendap. Endapan-endapan itu muncul dalam nyinyiran
sehari-hari. Media sosial membuat nyinyiran teramplifikasi.
Demokrasi
baru mengenal istilah netizen, para warga siber yang hidup dan
menghidupi media sosial. Cuitan di media sosial yang awalnya private menjadi public saat ditangkap, dikomentari, dibagi dan diviralkan para netizen.
Alhasil,
muncullah fenomena persekusi individu oleh kelompok orang gegara cuitan
di media sosialnya. Kasus persekusi terkini dialami Fiera Lovita
(Sumatera Barat) dan seorang remaja di Jakarta Timur beberapa waktu
terakhir (Mei, 2017).
Fenomena itu membuat Sila Kedua,
"Kemanusiaan yang adil dan beradab" menjadi hilang spiritnya. Tindakan
persekusi secara langsung mencederai kemanusiaan dimana seseorang berhak
diperlakukan dengan adil serta beradab.
Adil dalam konteks itu
bisa menjadi jembatan dialog ihwal perbedaan pendapat yakni upaya
klarifikasi sehingga memperoleh informasi yang utuh dan tidak berat
sebelah.
Adil dan beradab dalam setarikan nafas, menyaratkan upaya
mencari keadilan dilakukan dengan cara yang beradab. Tindakan persekusi
karenanya tertolak karena tak adil (berat sebelah) dan tak beradab
(memaksa/ menganiaya).
Sila Pertama
Setelah kita urai berbagai gejala yang ada, pada puncaknya kita saksikan Sila Pertama menjadi sesuatu yang penuh kontradiksi.
"Ketuhanan Yang Maha Esa" harusnya menggenapkan klaim bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius.
Namun,
fakta-data menyiratkan hal sebaliknya: ada gap antara klaim religius
dengan perilaku etis dalam berekonomi, berpolitik, bersosial dan
berbudaya.
Menjadi masuk akal bila dalam risetnya Scheherazade S.
Rehman dan Hossein Askari menempatkan Indonesia pada peringkat 140 dari
208 negara yang disurvei.
Dalam publikasinya How Islamic are Islamic Countries? (2010), mereka membuat Islamicity Index
yang menjadi ukuran tingkat keislaman suatu negara. Di peringkat atas
adalah New Zealand (1), Luxemburg (2), Finlandia (5) dan negara-negara
Eropa lainnya.
Sedangkan Indonesia, negara mayoritas Muslim di dunia justru terdepak. Paralel dengan Arab Saudi yang nangkring di posisi 131.
Apa sebab?
Dalam penjelasannya Rehman mengungkapkan banyak negara yang mengklaim diri Islam namun sering bertindak tidak adil dan korup.
Sebaliknya
New Zealand dengan yang sebagian besar penduduknya tak beragama, justru
peringkat 1 dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK); Luxemburg nomor 11 dan
Finlandia nomor 3. Itu artinya pemerintahannya bersih dari korupsi.
Berbanding misalnya Indonesia di peringkat 90.
Alhasil derajat
religiusitas masyarakat Indonesia itu demikian fragile dan fragmented.
Anekdotnya adalah: salat, zakat, puasa dan haji jalan, bersamaan dengan
itu lakukan korupsi.
Yang membuat jutaan warga tak dapat akses
fasilitas publik dengan baik, misalnya korupsi pengadaan al Quran
(2012), fasilitas olah raga (2011), alat kesehatan (2013), beras miskin
(2013), e-KTP (2012), simulator SIM (2011) dan kasus-kasus lainnya yang
terbongkar beberapa tahun belakangan.
Conditio Sine Qua Non
Cara baca Pancasila yang dialektik ini memiliki daya ledak bagi perubahan sosial sebagai pra syarat pemenuhan sila-sila lainnya.
Sila
Kelima harus dijadikan sebagai titik tolok visi Indonesia Merdeka yang
dengan simultan dan berkesinambungan akan mengondisikan pemenuhan
sila-sila di atasnya.
"Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" adalah syarat atau conditio sine qua non bagi lahirnya manusia yang beradab dan religio-etis sesuai tujuan kemerdekaan bangsa ini.
Dalam tradisi Islam kita akrab dengan hadist, "Kadal faqru an yakuuna kufran". Bahwa keadaan (faqru) miskin cenderung membuat orang menjadi kufur (keliru memilih jalan).
Fakir
dalam konteks ini dapat kita perluas maknanya menjadi: terbatas
pendidikan, terbatas penghasilan, terbatas ruang sosial, terbatas akses
fasilitas publik dan lainnya.
Pancasila harus diartikulasikan pertama-tama dan yang utama oleh negara dengan jalan mereduksi kondisi-kondisi keterbatasan itu.
Hal
itu senada dengan Amartya Sen (1998) yang menulis tentang pembangunan
sebagai kebebasan. Berkurangnya kondisi yang membelenggu (disability) dan bertambahnya kondisi yang memampukan (ability).
Absennya
akal sehat dari beragam gejala masalah di atas hanyalah refleksi dari
sebuah struktur sosial yang timpang yang membuat masyarakat menjadi disable menggunakan akal sehat dan nuraninya.
Keadilan,
dalam seluruh peradaban manusia merupakan nilai luhur tertinggi yang
mengatasi nilai-nilai lainnya. Keadilan sosial merupakan modus dasar
hidup yang akan hasilkan masyarakat sejahtera dan beradab yang dalam
bahasa Soekarno, tiada lagi exploitation de l'homme par l'homme.
Keadilan sosial itu bisa dimulai dari adil dalam akses dan distribusi kekayaan melalui demokratisasi ekonomi Indonesia. (*)
*Firdaus
Putra, HC adalah Direktur Kopkun Institute dan Peneliti Lembaga Studi
dan Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I). Tergabung dalam
jejaring Sukarelawan Indonesia untuk Perubahan (SI Perubahan)
(Kompas.com)