Oleh: Kisanak Yockie*
Malam semakin larut, kopiku
masih setengah cangkir. Sudah dingin, iya. Rokok yang kuhisap juga sudah
mulai bosan menjadi teman sejatiku. Mungkin iya sekarang hanya
berpura-pura saja menjadi teman semeja. Dan sesekali aku dihibur oleh
tetangga sebelah yang suka berteriak marah-marah sembari tetawa
terbahak-bahak. Iya betul, dua tahun yang lalu jiwanya sudah terganggu.
Ini semacam stresilogy. Dia hanya hidup sebatang kara dirumah tua itu.
Aku
masih duduk diruang tamu, yang rindu akan menjamu seseorang. Seraya
mataku menatap pintu utama rumah, yang sudah lapuk, tua, namun kuyakin
ia masih kuat menahan badai angin, ataupun banjir bandang sekalipun.
Seperti dini hari di minggu yang lalu. Hujan yang lebat hampir saja
merobohkan pintu utama dengan derasnya air, lengkap dengan petirnya.
Hanya saja paku penguat lepas satu, terpasa harus kupalu kembali.
Ke-esokan
hari, pagi datang dengan formasi lengkap; embun yang malu-malu untuk
jatuh dari dedaunnan, sinar surya yang mengganggu tidurku lewat genteng
kaca. Tak kalah juga kicauan burung mengusik telinga.
"Srek, , ,srek, ,srek"
Bunyi
itu menguatkanku untuk melepas sarung yang kujadikan selimut. Langkah
yang kususun mulai menjahui dari tempat tidurjendela. Aku curiga ada
maling. Namun nuraniku bersabda "masak iya maling beraksi dipagi hari"
Kakiku
yang melangkah ke arah jendela, mataku yang mengintip lewat kaca, serta
bibirku yang mendoa. "semoga ia bukan maling ya Gusti"
"Owalah, " disetai senyum kecil.
Ternyata
bunyi itu berasal dari gesekan sepasang sendal kayu perempuan yang
berjalan di depan halaman. Tapi kuperhatikan lirikan matanya tertuju
pada pintu rumahku. Kakinya juga mengisyaratkan akan berjalan ke arah
taman halaman.
"Akankah iya bertamu?" Jiwaku bertanya pada ragaku.
Selaku
tuan rumah aku harus menjamu tamu sebaik mungkin. Seperti pepatah tua
bilang, "tamu adalah raja". Putung rokok sisa semalam yang bersembunyi
dikolong meja mulai kusapu. Ritual-ritual sebelum mejamu tamupun
kulakukan, seperti;cuci muka, sikat gigi dan menyemprot minyak wangi.
Ritual masih berjalan tiba-tiba saja ketukan pintu semacam orang yang
mau bertamu terdengar.
"Thok.. thok....thok"
Padahal aku
masih belum selesai melakukan ritual terakhir;menyisir rambut didepan
cermin. Rambut bagian kanan masih belum rapi, layaknya singa yang baru
bangun tidur. Demi seorang tamu, menyisir rambut kusudahi dan berlari
kearah sumber suara. Pasang senyum tampan dengan wajah sumringah dan
perlahan pintu mulai kubuka. Pintu sudah kubuka setengah, namun yang
kutemui hanya bekas sendal yang berlumpur akibat hujan tadi malam.
Mengotori teras rumahku saja. Bunga matahari yang kutanam di halaman
juga hilang setangkai. Dasar maling berparas cantik.
Aku kembali duduk, menjalin rutinitas seperti biasa, diskusi bersama asap rokok dan secangkir kopi.
Siang harinya aku menilis sesuatu dikertas yang kutempel dipintu utama rumahku.
"Hai rembulan, jangan pernah bertamu kalau hanya sekedar mengetuk pintu". Begitu ejaannya.
Siang akan menjemput sore, aku mulai beralih dengan buku-buku yang tertata kurang rapi dirak sebelah meja.
Aku mendengar bunyi sendal yang bergesek lagi. Kali ini makin kuat.
Kucoba intip dari jendela kaca, namun ia bukan perempuan yang kutemui
dipagi hari tadi.
"Akankah iya bertamu?" Kali ini yang bertanya foto
Rahwana yang kupajang diruang tamu, pas diatas rak-rak buku itu. Sembil
tersenyum, seakan mengejek.
Perempuan itu masih mondar-mandir dihalaman. Seperti ada yang membujuknya pergi, namun seakan ia juga ingin bertamu.
"Bolehkah aku bertamu?" Via Whatsapp ia menghubungiku.
"Silahkan, bertamulah sesuai hati nurani. Dan jangan lupa alas kaki yang kau kenakan harap basuh dulu"
"Kenapa?"
"Iya, sebab tadi pagi ada orang yang mengotori halaman terasku"
"Aku sudah didepan teras namun kenapa pintu masih kau tutup? Jika seorang bertamu kau harapkan"
"Ketuk saja, nanti akan kubuka. pintu itu hanya tertutup namun tidak terkunci"
"Jika ada yang mengotori tak perlu kau tutup pintu rumahmu. Biyarkan aku yang akan menyapunya rumahmu"
"Hanya ruangan tamu yang bersih. Sisanya ada Kamar mandi; kamar tidur; teras depan; dapur dan halaman belakang masih kotor"
"Bayak sekali, aku perempuan"
"Jangan ketuk pintu dulu jika belum tangguh. Sebenarnya aku juga tak
tega melihat seorang gadis kelelahan. Namun itulah rumahku, kotor"
.......BERSAMBUNG
*Kisanak Yockie, Pria seniman kelahiran Tuban, Jawa Timur. Saat ini sedang menempuh studi di Universitas Tribhuwana Tunggadewi (Unitri) Malang.
Komentar