Dok. Kompas |
Selama beberapa tahun terakhir kondisi stok beras
pemerintah begitu mengkhawatirkan. Padahal, stok beras yang dikuasai pemerintah
selalu menjadi tolok ukur kondisi ketahanan pangan Republik ini. Implikasi
kenyataan ini adalah pertaruhan kedaulatan dan ketahanan pangan bangsa, melalui
kebijakan-kebijakan yang bersifat ad hoc.
Pengalaman empiris tahun-tahun sebelumnya
menunjukkan bahwa kegagalan pemenuhan target pengadaan gabah/beras oleh Perum
Bulog selalu menimbulkan kegaduhan. Nyaris tidak ada upaya yang benar-benar
terencana agar kegaduhan tidak terulang. Ujung-ujungnya juga selalu sama:
kondisi kekurangan stok beras yang dikuasai pemerintah selalu menjadi
justifikasi untuk ”panen” beras di pelabuhan (baca: impor).
Target
tak tercapai
Kita tentu masih ingat, betapa gaduhnya masalah
beras sepanjang tahun 2015. Target pengadaan gabah/beras yang dipatok
pemerintah 2,7 juta ton setara beras, hingga akhir Mei baru terealisasi 700.000
ton setara beras. Padahal, panen musim rendeng merupakan tumpuan bagi Bulog
dalam pengadaan gabah/beras60 persen dari target setahun.
Kondisi itu menimbulkan kepanikan pemerintah.
Seperti biasanya, selalu dicari kambing hitam jika terjadi kegagalan. Direktur
Utama Bulog Lenny Sugihat dicopot dari jabatan yang baru diemban seumur jagung
karena dianggap sebagai sosok paling bertanggung jawab. Namun, banyak pengamat
berpendapat siapa pun dirutnya, target pengadaan gabah/beras semester pertama
tersebut sangat sulit direalisasikan Bulog.
Penyebab utama adalah molornya penandatanganan
payung hukum pengadaan gabah/beras. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015
tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah
baru ditandatangani 17 Maret 2015, atau saat puncak panen musim rendeng hampir
berlalu. Padahal, mekanisme pembelian gabah oleh Bulog kepada petani harus
melalui proses yang rumit dan dengan time lag yang
panjang pula.
Seperti diketahui selama ini Bulog tidak membeli
gabah/beras langsung kepada petani, tetapi melalui mitra-mitra Bulog yang
notabene adalah lembaga profit oriented.
Maka, yang terjadi adalah hari terus berganti, padi di sawah kian menguning,
dan perut petani beserta keluarganya tak kuat lagi menanti. Ketika Bulog
bersiap-siap, panen raya padi sudah berlalu, gabah para petani sudah dibeli
para tengkulak dengan harga relatif murah.
Kegaduhan di ruang publik terus berlanjut hingga
penghujung 2015 dengan intensitas makin memuncak. Orkestrasi penyelenggaraan
pemerintah bahkan sempat mengalami disharmoni saat Wakil Presiden Jusuf Kalla
melontarkan pernyataan bahwa pemerintah akan mengimpor 1,5 juta tonberas dari
Thailand. Pernyataan itu buru- buru dibantah Presiden Joko Widodo. Namun,
belakangan publik dibuat tercengang saat pemerintah menjilat ludahnya. Media
gencar memberitakan banjirnya beras impor di sejumlah daerah di Tanah Air.
Jemput
bola
Pengalaman empiris telah menunjukkan, harga gabah
petani selalu jatuh saat puncak panen musim rendeng. Kenyataannya, meski panen
raya musim ini belum mencapai puncak, tren penurunan harga gabah/beras di
sejumlah daerah sentra produksi sudah terjadi signifikan.
Mengingat proporsi panen musim rendeng nasional
mencakup lebih dari 60 persen panenan dalam setahun, maka Bulog harus
memaksimalkan pengadaan pada musim panen ini.
Sebagai anggaran pelayanan publik (PSO), tahun ini
Bulog menerima penugasan pemerintah untuk menyerap gabah/beras petani 3,9 juta
ton. Terdiri atas pengadaan lewat jalur PSO 3,2 juta ton dan jalur komersial
700.000 ton. Bulog tidak boleh lagi ketinggalan kereta, apalagi jadi
justifikasi kebijakan impor beras yang kental dengan nuansa perburuan rente.
Bulog harus sigap melakukan tugasnya dalam menyerap
gabah petani, tidak lagi mengandalkan pengadaan oleh mitra-mitra Bulog yang
hanya memperpanjang mata rantai perdagangan. Bulog harus menjemput bola,
memperbanyak dan memaksimalkan kinerja satuan tugas pengadaan pada unit
pengolahan gabah dan beras (UPGB).
Perlu dijalin kerja sama dengan kelompok tani,
gabungan kelompok tani, serta lembaga ekonomi pedesaan lainnya. Upaya ini
diharapkan mampu memperpendek mata rantai penjualan gabah/beras sehingga lebih
menguntungkan petani.
Bagi para petani, panen musim rendeng merupakan
panen paling menyulitkan. Hal ini terjadi karena panen berlangsung saat curah
hujan masih cukup tinggi. Pada kondisi cuaca seperti itu intensitas sinar
matahari yang menjadi andalan petani dalam pengeringan gabah sangat kurang
sehingga pengeringan menjadi sangat krusial. Menurut pengamatan penulis, banyak
gabah petani yang terpaksa ditolak oleh Bulog karena tidak memenuhi syarat
kualitas kadar air maksimum 14 persen.
Kehadiran satgas UPGB di tengah-tengah petani yang
sedang kesulitan pengeringan gabah tentu sangat dirasakan manfaatnya. Di gudang
UPGB milik Bulog selain dilengkapi sarana lantai jemur yang cukup luas juga
dilengkapi silo-silo pengeringan dengan kapasitas memadai. Sarana-prasarana ini
harus dimanfaatkan secara optimal untuk membantu para petani menyelamatkan
hasil panen mereka.
Bersaing
tengkulak
Sudah menjadi aksioma generik bahwa setelah panen
raya musim rendeng berlalu maka harga gabah/beras petani akan naik lagi di atas
ketentuan harga pembelian pemerintah (HPP). Kondisi ini akan menyulitkan Bulog
dalam mengadakan gabah/beras untuk memenuhi target yang telah ditentukan,
seperti terjadi pada tahun lalu.
Maka, mulai sekarang harus dipikirkan payung hukum
bagi Bulog untuk membeli gabah/beras petani di atas ketentuan HPP. Pemberian
keleluasaan kepada Bulog seperti ini dimaksudkan agar lembaga ini bisa bersaing
dengan paratengkulak sehingga para petani merasakan manfaat kehadiran lembaga
ini.
Tanpa payung hukum, dapat dipastikan petugas Bulog
akan tiarap, tidak mau membeli gabah/beras petani karena takut terjerat
permasalahan hukum. Katakanlah harga beras 10-15 persen lebih tinggi dari
ketentuan HPP, atau lebih tinggi Rp 730-Rp 1.095 per kilogram. Untuk pengadaan
beras 2 juta ton, pemerintah harus menyediakan tambahan anggaran Rp 1,46
triliun-Rp 2,19 triliun. Nominal anggaran yang sangat kecil jika dibandingkan
dengan kedaulatan pangan bangsa yang tak ternilai harganya.
Kualitas gabah
Selama ini Bulog selalu beralasan bahwa kualitas gabah
yang dihasilkan petani jelek, sehingga penyerapan sangat rendah.Padahal, sudah
ada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 71/Permentan/PP.200/12/2015 tentang
Pedoman Harga Pembelian Gabah di Luar Kualitas oleh Pemerintah. Permentan ini
memberi keleluasaan Bulog untuk membeli gabah petani dalam segala kualitas.
Sebagai ilustrasi, sesuai Inpres No 5/2015 GKP
dengan kadar air 25 persen dan kadar hampa10 persen harganya Rp 3.700 per kg di
tingkat petani danRp 3.750 per kg di penggilingan. Harga GKP dengan kualitas di
luar ketentuan seperti yang diatur dalam Inpres No 5/2015 dapat dibaca dalam
tabel rafaksi yang tertuang dalam Permentan No 71/2015.
Sejarah panjang bangsa ini telah mencatat bahwa
dalam sebutir beras terkandung berbagai dimensi kehidupan. Mulai dari dimensi
ekonomi, sosial, keadilan, hak asasi, nasionalisme, spiritual, hingga dimensi
politik. Sampai kapan pun permasalahan beras akan selalu menjadi permasalahan
bangsa dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi.
Kenyataan itu pula barangkali yang mendasari pidato
Presiden Soekarno saat peletakan batu pertama pembangunan Fakultas Pertanian
Universitas Indonesia (sekarang IPB) tahun 1952.
Presiden pertama RI tersebut mengingatkan: ”Tiap
tahun zonder ketjuali,zonder pauze, zonder ampun,
soal beras ini akan datang; dan akan datangcrescendo, makin
lama makin hebat, makin lama makin ngeri, selama tambahnja penduduk jang tjepat
itu tidak kita imbangi dengan tambahnja bahan makanan jang tjepat pula!”.
Saatnya kita bangun kedaulatan pangan negeri ini,
antara lain melalui penguatan cadangan beras pemerintah. Terlalu berat ongkos
sosial politiknya jika masalah pangan bangsa selalu kita pertaruhkan dengan
kebijakan-kebijakan serba instan. SaatnyaBulog kembali ke semangat awal,
kembali ke rahim rakyat yang melahirkannya.
Toto Subandriyo, Pengamat Sosial-Ekonomi; Lulusan IPB
Dan Pascasarjana Unsoed, Dilansir dari: Kompas