Sejarah Rindu Pada Hujan dan Senja di Tanah Rantau -->

Iklan Semua Halaman

Sejarah Rindu Pada Hujan dan Senja di Tanah Rantau

Senin, 15 Mei 2017
Oleh: Nikris Riviansyah*

Catatan Untuk Judul Puisi Rara Zarary “Ma, Kau Tempat Aku Kembali”


Asumsi yang umum tentang hujan adalah air yang jatuh ketika awan mendung. setiap insan mempunyai asumsi serta persepsi yang berbeda-beda sesuai masa lalu atau pengalaman yang pernah dirasakan. Hujan yang selalu di identik dengan air berjatuhan dari langit ternyata menjadi inspirasi tersendiri bagi seorang penulis.

Pada buku “Hujan dan Senja Tanah Rantau” karya dari seorang penulis perempuan Rara Zarary, hujan mempunyai makna dan kenangan yang tidak mudah untuk di lupakan. bagi penulis buku ini hujan tidak hanya sekedar air yang berjatuhan sebagai isayarat langit yang menyapa bumi.

Hujan merupakan simbol lain dari sebuah perjalanan yang merangkum berbagai bentuk cerita, entah dengan cerita bahagia, air mata, atau bahkan kisah rindu di dalamnya. Juga tentang senja yang tidak hanya sekedar matahari yang akan tenggelam sebagai tanda bergantinya siang menjadi malam, namun hidup merupakan sebuah perjalanan untuk melangkah pada sebuah tujuan. Sama halnya dengan senja yang tidak melulu indah juga tidak selamanya pahit tergantung pada suasana hati penikmatnya.

“Hujan dan Senja Tanah Rantau”, merupakan hasil dari sebuah perjalanan penulis dalam merasakan manis pahitnya sebuah perjuangan,  mengasingkan diri dari pelukan sang ibu serta menjauh dari pandangan keluarga, dimana senyum juga canda tawa akan menjadi kenangan yang menyesakkan dan orang-orang menyebutnya sebagai rindu. Seperti pada judul puisi “Ma, Kau Tempat Aku Kembali”

“Ma, bila kelanaku tak juga menemukan arti  Izinkan aku memulangkan diri hiasi rumah tuamu yang berlumut sepi ” 

Pada bait di atas penulis berusaha mengungkapkan tentang kegelisahannya di tanah rantau, barangkali kepulangan lebih bermakna dari sebuah keterasingan yang di alami oleh penulis. lagi lagi tentang rindu yang meminta diri segera betemu dengan orang-orang yang selalu bersamanya dari sejak kecil, seorang ibu yang memang menjadi alasan terpenting seorang penulis berjuang untuk mengenggam seluruh impian yang sudah mendarah dalam diri penulis.

Namun perjalanan hidup tidak segampang yang dibayangkan, ada banyak tantangan yang membutuhkan keteguhan hati, barangkali menjadi karang di tengah lautan yang tak goyah meski ombak-gelombang menerjang merupakan perinsip terbaik bagi seorang pejuang. 
“Biarlah lalu lalang kawan mengebiri kealpaanku yang tuntas nyeri sebab aku hanya retas dalam doa dan niat yang sunyi Ma, kota rantau yang kau restui tahunan lalu tuk ku jelajahi ternyata terlalu pasi Tak mampu jua kucipta menjadi sebongkah puisi dengan rindu yang sebara api”

Pergolakan jiwa yang semakin merapuhkan penulis, bahkan pada bait-bait ini penulis mulai pasrah dengan keadaan dan lebih menitipkan segalanya pada nafas-nafas doa. Ketidak berdayaan untuk mewujudkan mimpi yang di analogikakan “sebogkah puisi”.

Imajinasi penulis yang mulai menuju keputus asaan yang memang seringkali di alami oleh kebanyakan orang karena harapan tidak seiramma dengan kenyataan yang ada. Seperti ketidak mampuan penulis untuk beradaptasi dengan lingkungan serta keadaan yang ia hadapi hal ini dapat terlihat dari cara pengungkapan diksi yang di tulis pada bait-bait selanjutnya,

“Izinkanlah, ma Biarlah-raga jiwa menepis segenap resah gelisah yang mmerangkum ribuan sesal diri Tak kuhiraukan lagi tempat ramai sunyi yang tak sudi menerimaku berdiam diri Ijinkanlah, ma Kumemulangkan diri pada tubuh rentamu yang tak lelah mengamini setiap doa-doa meski kutinggal pergi Sendiri”

“Tempat ramai sunyi yang tak sudi menerimaku berdiam diri” kalimat ini adalah puncak keputus asaan penulis dalam meminang mimpi yang terpendam dalam di lubuk hatinya. Ada harapan lain yang menjadi pilihan di dalam melanjutkan perjalanannya, ia lebih memilih mengobati “Rindu” melanjutkan segala kenangan yang pernah terpenggal bersama ibunya karena lebih memilih menjauh mengasingkan diri ke kota rantau.

Penulis lebih memilih kembali pada pangkuan ibunya yang selalu menjadi penguat pada setiap langkahnya, yang selalu merampungkan doa pada setiap sujud serta melabuhkan senyum sebagai tanda ikhlas ketika di tinggalkan sendiri dalam sepi. Pada bait terakhir akhirnya penulis benar-benar pulang untuk menemui seorang ibu sosok yang begitu agung yang masih ia punya. (*)

*Lahir di Batang-Batang, Sumenep Madura, 12 juli.menulis puisi di beberapa media dari sejak tahun 2013, Mahasiswa ilmu komunikasi UNITRI Malang, dan kini masih aktif di komunitas sastra “malam roboan”.