Oleh: Nikris Riviansyah*
Catatan Untuk Judul Puisi Rara Zarary “Ma, Kau Tempat Aku Kembali”
Asumsi yang umum tentang hujan adalah air yang
jatuh ketika awan mendung. setiap insan mempunyai asumsi serta persepsi yang
berbeda-beda sesuai masa lalu atau pengalaman yang pernah dirasakan. Hujan yang
selalu di identik dengan air berjatuhan dari langit ternyata menjadi inspirasi
tersendiri bagi seorang penulis.
Pada buku “Hujan dan Senja Tanah Rantau” karya
dari seorang penulis perempuan Rara Zarary, hujan mempunyai makna dan kenangan
yang tidak mudah untuk di lupakan. bagi penulis buku ini hujan tidak hanya
sekedar air yang berjatuhan sebagai isayarat langit yang menyapa bumi.
Hujan merupakan simbol lain dari sebuah perjalanan
yang merangkum berbagai bentuk cerita, entah dengan cerita bahagia, air mata,
atau bahkan kisah rindu di dalamnya. Juga tentang senja yang tidak hanya
sekedar matahari yang akan tenggelam sebagai tanda bergantinya siang menjadi
malam, namun hidup merupakan sebuah perjalanan untuk melangkah pada sebuah
tujuan. Sama halnya dengan senja yang tidak melulu indah juga tidak selamanya pahit
tergantung pada suasana hati penikmatnya.
“Hujan dan Senja Tanah Rantau”, merupakan hasil
dari sebuah perjalanan penulis dalam merasakan manis pahitnya sebuah
perjuangan, mengasingkan diri dari
pelukan sang ibu serta menjauh dari pandangan keluarga, dimana senyum juga
canda tawa akan menjadi kenangan yang menyesakkan dan orang-orang menyebutnya
sebagai rindu. Seperti pada judul puisi “Ma, Kau Tempat Aku Kembali”
“Ma, bila kelanaku tak juga menemukan arti Izinkan aku memulangkan diri hiasi rumah tuamu
yang berlumut sepi ”
Pada bait di atas penulis berusaha mengungkapkan
tentang kegelisahannya di tanah rantau, barangkali kepulangan lebih bermakna
dari sebuah keterasingan yang di alami oleh penulis. lagi lagi tentang rindu
yang meminta diri segera betemu dengan orang-orang yang selalu bersamanya dari
sejak kecil, seorang ibu yang memang menjadi alasan terpenting seorang penulis
berjuang untuk mengenggam seluruh impian yang sudah mendarah dalam diri
penulis.
Namun perjalanan hidup tidak segampang yang
dibayangkan, ada banyak tantangan yang membutuhkan keteguhan hati, barangkali
menjadi karang di tengah lautan yang tak goyah meski ombak-gelombang menerjang
merupakan perinsip terbaik bagi seorang pejuang.
“Biarlah lalu lalang kawan mengebiri kealpaanku
yang tuntas nyeri sebab aku hanya retas dalam doa dan niat yang sunyi Ma, kota
rantau yang kau restui tahunan lalu tuk ku jelajahi ternyata terlalu pasi Tak
mampu jua kucipta menjadi sebongkah puisi dengan rindu yang sebara api”
Pergolakan jiwa yang semakin merapuhkan penulis,
bahkan pada bait-bait ini penulis mulai pasrah dengan keadaan dan lebih
menitipkan segalanya pada nafas-nafas doa. Ketidak berdayaan untuk mewujudkan
mimpi yang di analogikakan “sebogkah puisi”.
Imajinasi penulis yang mulai menuju keputus asaan
yang memang seringkali di alami oleh kebanyakan orang karena harapan tidak
seiramma dengan kenyataan yang ada. Seperti ketidak mampuan penulis untuk
beradaptasi dengan lingkungan serta keadaan yang ia hadapi hal ini dapat
terlihat dari cara pengungkapan diksi yang di tulis pada bait-bait selanjutnya,
“Izinkanlah, ma Biarlah-raga jiwa menepis segenap
resah gelisah yang mmerangkum ribuan sesal diri Tak kuhiraukan lagi tempat
ramai sunyi yang tak sudi menerimaku berdiam diri Ijinkanlah, ma Kumemulangkan
diri pada tubuh rentamu yang tak lelah mengamini setiap doa-doa meski kutinggal
pergi Sendiri”
“Tempat ramai sunyi yang tak sudi menerimaku
berdiam diri” kalimat ini adalah puncak keputus asaan penulis dalam meminang
mimpi yang terpendam dalam di lubuk hatinya. Ada harapan lain yang menjadi
pilihan di dalam melanjutkan perjalanannya, ia lebih memilih mengobati “Rindu”
melanjutkan segala kenangan yang pernah terpenggal bersama ibunya karena lebih
memilih menjauh mengasingkan diri ke kota rantau.
Penulis lebih memilih kembali pada pangkuan ibunya
yang selalu menjadi penguat pada setiap langkahnya, yang selalu merampungkan
doa pada setiap sujud serta melabuhkan senyum sebagai tanda ikhlas ketika di
tinggalkan sendiri dalam sepi. Pada bait terakhir akhirnya penulis benar-benar
pulang untuk menemui seorang ibu sosok yang begitu agung yang masih ia punya. (*)
*Lahir di Batang-Batang, Sumenep Madura, 12 juli.menulis puisi di
beberapa media dari sejak tahun 2013, Mahasiswa ilmu komunikasi UNITRI
Malang, dan kini masih aktif di komunitas sastra “malam roboan”.