Tahu kau mengapa
aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam
ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari (Pramoediya
Ananta Toer).
Mengulas tentang
Mahbub Djunaidi tidak akan pernah ada habisnya. Membedah pribadi seorang Mahbub
seperti mengulas seorang perempuan, tidak pernah selesai dan tak pernah jemu
untuk membahasnya. Teringat kalimat Putu Wijaya, Kata Orang Wanita
Kan Sebuah Buku Yang Tidak Pernah Habis Dibaca!
Begitulah kira-kira
mengenang sosok Mahbub. Tulisannya yang bertebaran rapi di berbagai media,
menjadikannya sangat pantas menyemat predikat Sang Pendekar Pena.
Mahbub benar-benar
paham bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Menulis seolah menjadi
aktivitas penting dalam hidupnya. Coba saja telisik kehidupannya. Ia mencintai
dunia tulis menulis sebaik ia mencintai dunia keorganisasian. Tidak salah kalau
kemudian dirinya disebut sebagai pribadi yang multitalenta. Kecerdasan yang hanya
dimiliki oleh orang-orang pilihan.
Orang-orang pilihan
tentu tidak hanya karena faktor keturunan. Faktor gen sudah tidak bisa
disangkal bahwa Mahbub lahir dari tokoh NU yang sangat berpengaruh, H.
Djunaidi, yang juga anggota DPR hasil Pemilu 1955. Tetapi ada faktor lain yang
membuat Mahbub termasuk dalam golongan orang-orang pilihan. Faktor lain itu
adalah karena ia memiliki harapan dan cita-cita yang besar.
Meminjam bahasa
Haruki Murakami, ketika dianugerahi harapan, orang menggunakannya sebagai
bahan bakar dan tujuan untuk menjalani hidup. Tanpa harapan, manusia tidak bisa
bertahan hidup. Harapan adalah titik yang menjadi pemantik lahirnya
perjuangan. Ketika seorang anak manusia sudah mulai kehilangan harapan, ia
seperti seonggok tubuh yang tidak lebih dari mayat yang berjalan. Kehadirannya
sama saja dengan ketiadaannya.
Harapan dan
cita-cita besarlah yang menjadikan Mahbub terus memupuk eksistensi dirinya.
Menciptakan eksistensi diri, begitu kira-kira semangat yang ingin disuntikkan
pada kader PMII Kota Malang oleh Muhammad Romdlon saat peringatan Haul Mahbub
Djunaidi ke 20, oleh PC PMII Kota Malang. Sahabat Romdlon mengambil benang
merah dari kehidupan seorang Mahbub bahwa eksistensi diri sangatlah penting.
Perbedaan organisasi tidaklah menjadi prioritas utama, melainkan eksistensi
diri lah yang menentukan bagaimana seseorang memiliki nilai.
Jika diselami lebih
dalam, seolah sahabat Romdlon ingin mengatakan bahwa menulis adalah bentuk lain
bagaimana membentuk eksistensi diri. Mahbub telah membuktikannya. Kader terbaik
PMII itu telah membuktikan kesaktian kalimat Pramoedya Ananta Toer, Menulis
adalah bekerja untuk keabadian.
Mahbub
bermetamorfosis menjadi sosok yang penting dalam tubuh PMII. Bersama organisasi
pergerakan itu ia berada di garda terdepan untuk membela hak-hak rakyat kecil
dan kaum lemah. Ia adalah sosok pribadi yang halus dan romantis melalui sajak
dan karya cerpennya. Ia adalah sosok pribadi yang kritis mengamati kondisi
sekitar dengan esai dan gagasan bentuk lainnya di kolom surat kabar.
Berbeda dengan
sahabat Romdlon, Bang Berlian mengenang sosok Mahbub dengan senyum mempesona.
Seolah tiba-tiba ia menjadi sosok penyair paling romantis di dunia. Sembari
membuka bayangan tentangnya, Bang Berlian membacakan penggalan puisi Mahbub
yang menurutnya paling bercahaya sejagat raya.
Pesta sudah usai
Tapi pekerjaan
belum selesai
Penggalan puisi itu
bukan sembarang sajak yang hanya meramaikan warna dunia perpuisian. Bacalah
sekali lagi penggalan puisi itu, Pesta Sudah Usai Tapi Pekerjaan
Belum Selesai. Seperti Bang Ber, orang-orang yang memahami hakikat
keindahan akan terpikat oleh penggalan puisi itu.
Seringkali tawa
berderai setiap kali pesta sudah selesai digelar. Pembacaan teks proklamasi
oleh Soekarno sebagai simbol kemerdekaan Indonesia adalah bentuk lain dari
sebuah gelaran pesta. Semua orang yang berada pada titik nasib dan perjuangan
yang sama beramai-ramai mengangkat bendera merah putih. Beberapa tahun
setelahnya, upacara khidmat kemerdekaan digelar di mana-mana. Bulan Agustus
sebagai rahim lahirnya kemerdekaan bahkan tidak pernah sepi dari nyanyian
Indonesia Raya. Kita selalu riang setiap kali Pesta Sudah Usai,
padahal Pekerjaan Belum Selesai.
Perkawinan diksi
pada penggalan puisi itu seperti Thor yang sedang mengayunkan palunya. Memakai
bahasanya Joustein Gaarder, Ketika dia mengayunkan palunya akan terdengar
guntur dan halilintar. Ketika kita mau mendalami perkawinan diksi-diksi
itu, seharusnya kita sadar bahwa ada pecutan kata-kata yang tersembunyi di
balik penggalan puisi itu. Kandungan maknanya mengakar ke perut bumi Indonesia.
Dahan dan reranting perjuangannya masih menjulang, menusuk hingga ufuk
cakrawala.
Ketika Bang Berlian
membacakannya pertama kali, penggalan puisi itu lebih mirip sajak-sajak biasa
yang ditulis oleh kebanyakan anak remaja. Tetapi saat Bang Berlian mengulangnya
untuk yang kali ketiga, ternyata penggalan puisi itu menyimpan semangat dan
perjuangan seluruh umat manusia yang ingin keluar dan mendobrak pintu
ketidakadilan dan ketertindasan. Semangat untuk keluar dari jurang kemiskinan.
Semangat untuk bangkit dari kebodohan dan keterbelakangan.
Mahbub paham betul
kalimat Pram, Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak
menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Mahbub juga
mengerti bahwa ia tidak bisa hidup sepanjang seribu tahun. Tapi keinginannya
untuk terus tetap hidup sama kuatnya dengan teriakan Khairil Anwar, Aku
Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi.
Ketika Khairil Anwar
memiliki keinginan ingin hidup seribu tahun lagi, ia tidak mengatakannya dengan
berteriak di tengah jalan, melakukan orasi di depan gedung DPR atau sambil
membakar ban di depan istana presiden. Selain karena saat itu kondisi sosial
politik tidak memungkinkan hal itu dilakukan, Khairil memilih sikap yang lebih
elegan dan bijak. Ia berteriak melalui sajaknya. Sungguh pilihan sikap yang
tepat dan luar biasa.
Sudah banyak
tokoh-tokoh yang melakukan pembuktian bahwa peradaban bisa diciptakan dengan
cara menuliskan setiap ide dan pemikiran. Ibnu Khaldun, Ibu Sina, Aristoteles,
Plato, dan Einstein adalah sedikit dari ribuan tokoh besar lainnya yang
mewariskan peradaban melalui tulisan. Itu adalah fakta yang tidak bisa ditolak.
Ketika Baghdad menjadi tonggak peradaban muslim, mereka melakukan proses
keilmuan yang sangat luar biasa. Berbagai buku berkualitas tinggi diterjemahkan
dari peradaban India maupun Yunani.
Sejarah pencapaian
peradaban itulah yang kemungkinan besar telah menjadi inspirasi Helvi Tiana
Rosa. Ketika ia diwawancarai oleh salah satu stasiun televisi swasta, Helvy
mengatakan, Semakin Banyak Penulis Yang Lahir, Maka Semakin Majulah
Peradaban Bangsa Kita.
Ketika aplikasi microsoft
office sudah lebih mudah masuk pada layar laptop dan smart phone,
semestinya itu manjadi isyarat bahwa menulis adalah aktivitas yang semakin
mudah dilakukan. Berbeda dengan belasan abad yang lalu, ketika para ilmuan dan
ulama menulis di atas pelepah kurma. Sebuah keterbatasan yang sangat mengiris
hati, tapi tidak menjadikan mereka patah arang untuk menuangkan ide dan
keilmuannya.
Sosok Mahbub
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tokoh Minke dalam buku Jejak Langkah karya
Pramoediya Ananta Toer. Oleh temannya yang seorang wartawan De Locomotief
Semarang, Minke diajak bertemu dengan Dewa Radikal Kaum Liberal, Ir. H. van
Kollewijn. Yang membuat Pram begitu terkenal bukan karena ia terlahir atas
dasar suku, bobot dan bebet keluarganya, melainkan karena tulisan
cerpen-cerpennya yang memukau. Seperti Pram, Mahbub juga pernah diundang ke
Istana Bogor oleh sebab Soekarno terkesan pada tulisannya yang mengatakan bahwa
Pancasila lebih agung dari Declaration of Independence.
Sekali lagi,
membicarakan sosok Mahbub Djunaidi tidak akan pernah ada habisnya. Seperti
tengah membedah sosok perempuan yang dikuliti dari ujung rambut hingga ujung
kaki. Mahbub Djunaidi, keharuman namanya seperti bau kesturi yang merasuk dalam
setiap not pada tangga nada Mars PMII. Selebihnya, kini harus dipercaya, bahwa
memiliki karya adalah cara lain untuk mencatatkan diri dalam sejarah.
Kalau Kamu Bukan
Keturunan Orang Kaya (Kongklomerat) atau Trah Ulama’ (Darah Biru) Maka Jadilah
Penulis (Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad at-Thusi
al-Ghazali).
*Latif
Fianto, lahir di Sumenep, pecinta buku, menulis cerpen dan esai,
sekarang tinggal di Malang.