Selamanya, Takdir Sukab adalah Penonton Teater Politik -->

Iklan Semua Halaman

Selamanya, Takdir Sukab adalah Penonton Teater Politik

Jumat, 05 Mei 2017
Oleh: Puri Bakthawar*

Sukab adalah kita.
Masih ingat slogan Jokowi-JK adalah kita? Sebuah slogan pemenangan kampanye pasangan Jokowi-Jusuf Kalla yang terkesan sepele dan sederhana, tetapi amat efektif dalam membangun citra lewat politik identitas. Jokowi identik dengan kita: orang biasa. Ia berasal dari kita, dan bekerja bersama-sama dengan kita. Kita adalah pekerja. Kerja, kerja, dan kerja! Tanpa bekerja, kita bisa mati kelaparan. Mengapa? Karena kita bukan darah biru. Oleh sebab itu, kita mesti memilih Jokowi. Karena Jokowi adalah kita, dan kita adalah Jokowi.

Benarkah demikian? Setidaknya, barangkali itulah skenario yang dibuat para konsultan politik dalam merumuskan wacana kampanye Jokowi. Tentu, kita tak boleh asal percaya. Empat abad sebelum Pilpres 2014, dramawan Inggris Shakespeare sudah mewanti: all the worlds a stage. Dunia adalah panggung sandiwara. Dunia adalah teater bagi banyak hal, tak terkecuali bagi politik.

Lalu, siapa sebenarnya Sukab? Bagi pembaca Seno Gumira Ajidarma, Sukab bukan nama asing. Dalam prosa maupun esai Seno, Sukab acap muncul sebagai tokoh di dalamnya. Sukab ialah tokoh rekaan Seno, sebagai representasi dari wacana liyan: wacana yang terpinggirkan dari narasi-narasi utama. Kehadirannya kadang tidak perlu, tidak dianggap, tidak diharapkan, atau hanya sekadar numpang lewat sebagai penggembira maupun pelengkap penderita. Ringkasnya, Sukab bukan orang penting.

Sukab lahir di era Orde Baru, pada sebuah masa di mana kekuasaan begitu kuat dan merajalela. Penguasa membangun istana baja nan kokoh, yang dikelilingi tentara bersenjatakan bedil dan meriam. Setiap orang yang mengkritik penguasa, siapkan saja nyawa sebagai taruhan. Bagaimana dengan Sukab? Apakah ia takut? Tentu saja: ya, ia ketakutan. Sebab Sukab bukan pahlawan, ia hanya rakyat biasa.

Mei 1998, kekuasaan runtuh. Orang-orang menyambutnya dengan gembira. Tiga dekade menahan lapar, orang-orang menjadi kemaruk. Mereka berbondong-bondong menyerbu istana, mengais apa saja yang tersisa. Bagaimana nasib Sukab? Apakah ia ikut kecipratan kuasa?

Narasi Sukab tentang Teater Politik yang Berantakan

Dikompilasi sebagai obrolan politik, buku Jokowi, Sangkuni, Machiavelli terdiri dari kumpulan artikel populer Seno Gumira Ajidarma yang menggambarkan realitas politik Indonesia kontemporer. Seno membedah narasi politik kekinian dengan pisau budaya dan media. Lewat berbagai referensi, ia mengidentikkan dunia politik Indonesia sebagai sebuah teater yang berantakan, lengkap dengan para aktor dan bumbu drama.

Dalam konsepsi Seno, terdapat tiga karakter dominan dalam politik Indonesia kontemporer, yang direpresentasikan melalui tiga tokoh: Jokowi, Sangkuni, dan Machiavelli. Jokowi adalah perwujudan rakyat kecil yang mengalami euforia, dan mendadak ketiban pulung kekuasaan pasca robohnya rezim otoriter. Sangkuni adalah simbol dari tangan-tangan yang tak tampak, sebagai pembisik yang samar-samar. Sedangkan Machiavelli menunjukkan tabiat asli politik, hasrat terdalam manusia yang haus kuasa.

Euforia politik bagi wong cilik, misalnya, tergambarkan dalam artikel “Petruk jadi Raja”. Dalam artikel ini, Seno secara metaforis menggambarkan realitas politik mutakhir seperti lakon wayang Petruk jadi Raja. Pada saat perebutan Jamus Kalimasada antara Dewi Mustakaweni (yang mencuri pusaka itu dari Kerajaan Amarta) dan Priyambada (anak Arjuna yang merebutnya kembali), Petruk mendapat amanah titipan agar menjaga pusaka Kalimasada. Namun, Petruk justru kabur dan menghilang. Ia kemudian muncul kembali setelah menaklukkan sebuah kerajaan dan menjadi raja bergelar Prabu Belgeduwelbeh Tongtongsot (hal 78-79).

Kisah wayang ini tentu relevan dengan kondisi politik Indonesia pasca jatuhnya rezim. Rakyat biasa kini disebut sebagai pemegang daulat negara. Rakyat adalah penentu dari nasib mereka sendiri. Jamus kalimasada, perwujudan dari pusaka kekuasaan, telah kembali pada Petruk (rakyat biasa). Namun, mampukah Petruk menggunakan pusaka itu untuk mewujudkan sebuah kerajaan yang makmur? Benarkah bahwa kini rakyat telah sungguh-sungguh berdaulat?

Dalam artikel Sangkuni Tidak Dibantu Dewa, Seno menyatakan bahwa perilaku politik Indonesia dibentuk oleh wacana kebudayaan. Bahkan di era online abad 21, referensi politik Indonesia masih merujuk pada tokoh-tokoh pewayangan. Secara mengejutkan, lewat penelusuran di dunia maya, tokoh Sangkuni menempati peringkat teratas sebagai tokoh yang paling identik dengan dunia politik Indonesia, melebihi tokoh-tokoh politik dunia wayang seperti Durna, Widura, atau Kresna (hal 23).

Mengapa Sangkuni? Tak lain karena ia merupakan faktor penentu yang mempengaruhi kebijakan raja. Karena pengaruhnya tersebut, ia justru menjadi otak dan tangan-tangan tak tampak dari rangkaian peristiwa politik. Perannya kerap kali lebih besar dari raja itu sendiri. Sangkuni akan selalu dirujuk sebagai representasi kelicikan, dengan ucapan dan tindakan tak jujur untuk meraih tujuan, serta kerap mengandalkan tipu daya dan tak segan menumpahkan darah (hal 24).

Segala kebobrokan politik tersebut sebetulnya bersumber pada apa yang dituturkan oleh Machiavelli. Dalam Machiavelli dan Korupsi Politik, Seno menafsir bahwa gagasan Machiavelli merupakan parodi dalam moralitas kekuasaan. Machiavelli membongkar praktik kemunafikan politik dan menyuguhkan apa yang ada senyata-nyatanya (hal 165). Celakanya, tulisan Machiavelli justru menjadi rumus yang jitu bagi oportunis-oportunis kekuasaan. Politikus kini tak ubahnya seperti pemain teater yang bermain plot drama, seolah-olah menjunjung tinggi daulat rakyat. Namun, semua itu hanyalah topeng, karena yang sejati ialah libido naluriah untuk berkuasa.

Hampir dua dekade rezim otoriter tumbang dan Indonesia menjalani periode reformasi. Akan tetapi, apakah Sukab dan para wong cilik telah sungguh-sungguh ikut merayakan reformasi? Atau hanya Jokowi, para Sangkuni, dan pengikut Machiavelli yang menikmati buahnya?

Kelas menengah Indonesia barangkali boleh bertepuk dada dengan penghasilan enam digit rupiah setiap bulan. Namun, patut pula diingat, nun jauh di istana, Jokowi, papa-papa Sangkuni, dan cukong-cukong Machiavellian juga selalu punya mainan baru. Amnesti Pajak, untuk menyebut salah satu contohnya, punya perhitungan angka rupiah pada kisaran miliar dan triliun.

Sebuah angka yang tak akan pernah mampu dibayangkan oleh Sukab. Selamanya, takdir Sukab hanyalah sekadar menjadi penonton teater politik. Ia boleh ikut bergembira, bertempik sorak, atau larut dalam berbagai emosi dan kesedihan. Namun, penonton tetaplah seorang penonton. Selamanya ia hanya mampu melihat apa yang ditampilkan dalam layar dan membayangkannya, tanpa pernah menjangkau apa yang ada di dalamnya.
Yang fana adalah rakyat, kekuasaan abadi. Begitukah, Sukab? (*)


*Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM. Mencintai buku-buku dan dunia cerita.

Data Buku
Judul: Jokowi, Sangkuni, Machiavelli
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Peresensi: Puri Bakthawar
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: I, September 2016
Tebal: 214 halaman
ISBN: 978-979-433-977-0