Oleh: Puri Bakthawar*
Sukab
adalah kita.
Masih ingat slogan
Jokowi-JK adalah kita? Sebuah slogan pemenangan kampanye pasangan Jokowi-Jusuf
Kalla yang terkesan sepele dan sederhana, tetapi amat efektif dalam membangun
citra lewat politik identitas. Jokowi identik dengan kita: orang biasa. Ia berasal
dari kita, dan bekerja bersama-sama dengan kita. Kita adalah pekerja. Kerja,
kerja, dan kerja! Tanpa bekerja, kita bisa mati kelaparan. Mengapa? Karena kita
bukan darah biru. Oleh sebab itu, kita mesti memilih Jokowi. Karena Jokowi
adalah kita, dan kita adalah Jokowi.
Benarkah demikian? Setidaknya,
barangkali itulah skenario yang dibuat para konsultan politik dalam merumuskan
wacana kampanye Jokowi. Tentu, kita tak boleh asal percaya. Empat abad sebelum
Pilpres 2014, dramawan Inggris Shakespeare sudah mewanti: all the worlds a
stage. Dunia adalah panggung sandiwara. Dunia adalah teater bagi banyak hal,
tak terkecuali bagi politik.
Lalu,
siapa sebenarnya Sukab? Bagi pembaca Seno Gumira Ajidarma, Sukab bukan nama
asing. Dalam prosa maupun esai Seno, Sukab acap muncul sebagai tokoh di
dalamnya. Sukab ialah tokoh rekaan Seno, sebagai representasi dari wacana
liyan: wacana yang terpinggirkan dari narasi-narasi utama. Kehadirannya kadang
tidak perlu, tidak dianggap, tidak diharapkan, atau hanya sekadar numpang lewat
sebagai penggembira maupun pelengkap penderita. Ringkasnya, Sukab bukan orang
penting.
Sukab
lahir di era Orde Baru, pada sebuah masa di mana kekuasaan begitu kuat dan
merajalela. Penguasa membangun istana baja nan kokoh, yang dikelilingi tentara
bersenjatakan bedil dan meriam. Setiap orang yang mengkritik penguasa, siapkan
saja nyawa sebagai taruhan. Bagaimana dengan Sukab? Apakah ia takut? Tentu
saja: ya, ia ketakutan. Sebab Sukab bukan pahlawan, ia hanya rakyat biasa.
Mei
1998, kekuasaan runtuh. Orang-orang menyambutnya dengan gembira. Tiga dekade
menahan lapar, orang-orang menjadi kemaruk. Mereka berbondong-bondong menyerbu
istana, mengais apa saja yang tersisa. Bagaimana nasib Sukab? Apakah ia ikut
kecipratan kuasa?
Narasi Sukab tentang Teater Politik yang Berantakan
Dikompilasi
sebagai obrolan politik, buku Jokowi, Sangkuni, Machiavelli terdiri dari
kumpulan artikel populer Seno Gumira Ajidarma yang menggambarkan realitas
politik Indonesia kontemporer. Seno membedah narasi politik kekinian dengan pisau
budaya dan media. Lewat berbagai referensi, ia mengidentikkan dunia politik
Indonesia sebagai sebuah teater yang berantakan, lengkap dengan para aktor dan
bumbu drama.
Dalam
konsepsi Seno, terdapat tiga karakter dominan dalam politik Indonesia kontemporer,
yang direpresentasikan melalui tiga tokoh: Jokowi, Sangkuni, dan Machiavelli.
Jokowi adalah perwujudan rakyat kecil yang mengalami euforia, dan mendadak
ketiban pulung kekuasaan pasca robohnya rezim otoriter. Sangkuni adalah simbol
dari tangan-tangan yang tak tampak, sebagai pembisik yang samar-samar.
Sedangkan Machiavelli menunjukkan tabiat asli politik, hasrat terdalam manusia
yang haus kuasa.
Euforia
politik bagi wong cilik, misalnya, tergambarkan dalam artikel “Petruk jadi
Raja”. Dalam artikel ini, Seno secara metaforis menggambarkan realitas politik
mutakhir seperti lakon wayang Petruk jadi Raja. Pada saat perebutan Jamus
Kalimasada antara Dewi Mustakaweni (yang mencuri pusaka itu dari Kerajaan
Amarta) dan Priyambada (anak Arjuna yang merebutnya kembali), Petruk mendapat
amanah titipan agar menjaga pusaka Kalimasada. Namun, Petruk justru kabur dan
menghilang. Ia kemudian muncul kembali setelah menaklukkan sebuah kerajaan dan
menjadi raja bergelar Prabu Belgeduwelbeh Tongtongsot (hal 78-79).
Kisah
wayang ini tentu relevan dengan kondisi politik Indonesia pasca jatuhnya rezim.
Rakyat biasa kini disebut sebagai pemegang daulat negara. Rakyat adalah penentu
dari nasib mereka sendiri. Jamus kalimasada, perwujudan dari pusaka kekuasaan,
telah kembali pada Petruk (rakyat biasa). Namun, mampukah Petruk menggunakan
pusaka itu untuk mewujudkan sebuah kerajaan yang makmur? Benarkah bahwa kini
rakyat telah sungguh-sungguh berdaulat?
Dalam
artikel Sangkuni Tidak Dibantu Dewa, Seno menyatakan bahwa perilaku politik
Indonesia dibentuk oleh wacana kebudayaan. Bahkan di era online abad 21,
referensi politik Indonesia masih merujuk pada tokoh-tokoh pewayangan. Secara
mengejutkan, lewat penelusuran di dunia maya, tokoh Sangkuni menempati
peringkat teratas sebagai tokoh yang paling identik dengan dunia politik
Indonesia, melebihi tokoh-tokoh politik dunia wayang seperti Durna, Widura,
atau Kresna (hal 23).
Mengapa
Sangkuni? Tak lain karena ia merupakan faktor penentu yang mempengaruhi
kebijakan raja. Karena pengaruhnya tersebut, ia justru menjadi otak dan
tangan-tangan tak tampak dari rangkaian peristiwa politik. Perannya kerap kali
lebih besar dari raja itu sendiri. Sangkuni akan selalu dirujuk sebagai
representasi kelicikan, dengan ucapan dan tindakan tak jujur untuk meraih
tujuan, serta kerap mengandalkan tipu daya dan tak segan menumpahkan darah (hal
24).
Segala
kebobrokan politik tersebut sebetulnya bersumber pada apa yang dituturkan oleh
Machiavelli. Dalam Machiavelli dan Korupsi Politik, Seno menafsir bahwa gagasan
Machiavelli merupakan parodi dalam moralitas kekuasaan. Machiavelli membongkar
praktik kemunafikan politik dan menyuguhkan apa yang ada senyata-nyatanya (hal
165). Celakanya, tulisan Machiavelli justru menjadi rumus yang jitu bagi
oportunis-oportunis kekuasaan. Politikus kini tak ubahnya seperti pemain teater
yang bermain plot drama, seolah-olah menjunjung tinggi daulat rakyat. Namun,
semua itu hanyalah topeng, karena yang sejati ialah libido naluriah untuk
berkuasa.
Hampir dua dekade
rezim otoriter tumbang dan Indonesia menjalani periode reformasi. Akan tetapi,
apakah Sukab dan para wong cilik telah sungguh-sungguh ikut merayakan
reformasi? Atau hanya Jokowi, para Sangkuni, dan pengikut Machiavelli yang
menikmati buahnya?
Kelas
menengah Indonesia barangkali boleh bertepuk dada dengan penghasilan enam digit
rupiah setiap bulan. Namun, patut pula diingat, nun jauh di istana, Jokowi,
papa-papa Sangkuni, dan cukong-cukong Machiavellian juga selalu punya mainan
baru. Amnesti Pajak, untuk menyebut salah satu contohnya, punya perhitungan
angka rupiah pada kisaran miliar dan triliun.
Sebuah
angka yang tak akan pernah mampu dibayangkan oleh Sukab. Selamanya, takdir
Sukab hanyalah sekadar menjadi penonton teater politik. Ia boleh ikut
bergembira, bertempik sorak, atau larut dalam berbagai emosi dan kesedihan.
Namun, penonton tetaplah seorang penonton. Selamanya ia hanya mampu melihat apa
yang ditampilkan dalam layar dan membayangkannya, tanpa pernah menjangkau apa
yang ada di dalamnya.
Yang
fana adalah rakyat, kekuasaan abadi. Begitukah, Sukab? (*)
*Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM. Mencintai buku-buku dan dunia
cerita.
Data Buku
Judul: Jokowi, Sangkuni, Machiavelli
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Peresensi: Puri Bakthawar
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: I, September 2016
Tebal: 214 halaman
ISBN: 978-979-433-977-0
Judul: Jokowi, Sangkuni, Machiavelli
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Peresensi: Puri Bakthawar
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: I, September 2016
Tebal: 214 halaman
ISBN: 978-979-433-977-0