Sulitnya Petani Membaca Alam -->

Iklan Semua Halaman

Sulitnya Petani Membaca Alam

Selasa, 26 Januari 2016
Awan kelabu menggelayut di lahan persawahan Bayalangu, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (23/1). Alkoni (55), petani, membiarkan hujan mengguyur tubuhnya yang kurus. Ayunan cangkul melunakkan tanah sawah yang beberapa hari sebelumnya kering, retak-retak.


Ia tak sendiri. Puluhan petani di Gegesik juga masih menggemburkan lahan persawahan yang bakal ditanami. "Bulan satu (Januari) seharusnya sudah tebar pupuk. Sekarang terlambat tanam," ujar Alkoni.

Tahun-tahun sebelumnya, kala hujan mulai turun, itu pertanda bahwa tanah sawah siap diolah untuk menyemai benih padi. Awal tanam paling lambat Desember, saat hujan sedang hebat-hebatnya. Namun, beberapa tahun terakhir ini berbeda. Hujan baru intens turun akhir Januari sehingga musim tanam pun terpaksa mundur.

Percuma menggunakan pompa untuk menyedot air sungai agar awal musim tanam bisa bulan Desember karena air sungai pun masih minim. Alkoni hanya bisa pasrah mengikuti kehendak alam.

Bukan hanya Alkoni, petani lainnya di pesisir utara Jawa Barat yang merupakan pemasok beras utama untuk nasional pun mengalami nasib serupa. Di Cirebon, misalnya, dari 45.500 hektar lahan pertanian, hingga pekan lalu masih sekitar 26.000 hektar lahan yang belum ditanami karena ketiadaan air.

"Setiap tahun, awal musim tanam selalu mundur. Tetapi, tahun ini yang paling parah," ujar Alkoni.

Gambaran kerugian sudah di depan mata. Maklum, Alkoni bukan petani pemilik lahan. Ia hanya penyewa lahan dengan tarif sewa Rp 4 juta sekali musim tanam untuk lahan kurang dari setengah hektar. Ditambah biaya pupuk, pengolahan lahan, dan obat-obatan, Alkoni memperkirakan bisa mendapatkan hasil 2 ton gabah basah seharga Rp 7 juta.

"Masih ada untung Rp 1 juta dari hasil mengolah lahan sekitar 3,5 bulan. Itu pun kalau tak ada serangan hama," lanjutnya.

Sejumlah petani di sentra pertanian padi di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, juga kebingungan dengan fenomena alam yang akhir-akhir ini semakin sulit ditebak.

"Januari tahun lalu sawah kami kebanjiran. Lalu datang musim kemarau, dan kini terlambat tanam. Ini ada apa?" kata Sujaya (35), petani di Kecamatan Lohbener, Indramayu, kebingungan.

Kantor Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Jatiwangi-yang membawahkan wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan- mencatat, hujan di Cirebon akan berakhir April, sedangkan di Indramayu pada Maret. Artinya, saat petani masih membutuhkan air hujan, kemarau sudah datang lagi.

Sebaliknya, di sejumlah wilayah, seperti Aceh, Riau, dan Jambi, pada saat bersamaan, curah hujan justru sangat tinggi sehingga menyebabkan banjir.

Dikaitkan El Nino

Penyimpangan kondisi cuaca di sejumlah wilayah Tanah Air itu dikaitkan dengan El Nino yang kuat. Akibat kondisi bentang alam dan paparan emisi lokal, regional, dan global menguat, dampak El Nino yang kuat pun mengkhawatirkan: stok air irigasi tak cukup lagi. Itu ditambah minimnya curah hujan. Kondisi itu juga melingkupi wilayah lain dan diprediksi hingga April 2016.

Fenomena perubahan iklim yang ditandai meningkatnya suhu Bumi-tahun 2015 merupakan suhu terpanas Bumi-terjadi di belahan dunia lain. Michel Jarraud, Kepala Badan Meteorologi Dunia di Geneva, mengatakan, El Nino yang terjadi alami turut dipengaruhi perubahan iklim yang disebabkan manusia (Kompas, 29/12/2015).

Pembangunan global yang tak ramah lingkungan, seperti alih fungsi hutan, pengeringan rawa gambut, serta boros energi berbasis fosil, seperti batubara dan minyak bumi, menjadi biang perubahan iklim, yang dalam tataran lokal berdampak pada pergeseran musim tanam, seperti di Cirebon dan Indramayu.

Di tengah kondisi cuaca dan iklim yang berdampak buruk, utusan lebih dari 150 negara mengikuti Pertemuan Para Pihak (COP) Ke-21 di Paris, Desember 2015. Semua wakil negara sepakat membangun dengan lebih ramah lingkungan demi menjaga kenaikan suhu Bumi pada kisaran 1,5 derajat celsius hingga 2 derajat celsius pada 2030 dari basis emisi sebelum era Revolusi Industri.

Jauh dari Paris, Alkoni dan Sujaya tak tahu-menahu tentang Kesepakatan Paris itu. Mereka hanya tahu musim tanam terus bergeser dan utang untuk mengelola lahan menumpuk. Hama tikus menambah pukulan bertubi-tubi.

Menurut Tasrip Abubakar, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Kabupaten Cirebon, melihat fenomena alam ini, saatnya para ahli pertanian memikirkan solusi.

Petani menjadi korban dari dampak perubahan iklim. "Petani dan pola tanamnya juga harus berubah. Pemerintah juga perlu menyiapkan strategi pangan, misalnya menyediakan lumbung pangan di desa untuk mencegah sentra padi kekurangan padi," ujarnya.

Ketika para pemimpin dunia, termasuk Indonesia, membahas target penurunan suhu global, Alkoni dan ribuan petani di Tanah Air memutar otak dan mengerahkan otot agar bisa mengolah lahan pertanian dengan baik. 

Pemerintah yang diharapkan perannya tak memberikan informasi apa pun kepada petani.


(ABDULLAH FIKRI ASHRI/RINI KUSTIASIH)

Dilansir dari: www.kompas.com