Perjalanan
kepemimpinan pejabat publik di negeri ini perlu banyak belajar budaya malu
kepada Jepang. Telah banyak para pejabat publik yang tidak malu atas
perbuatannya melakukan tindakan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Sudah
terindikasi dan bahkan menjadi tersangka pun, para pemimpin negeri ini seakan tetap
berprinsip tidak bersalah.
Perlu
diketahui, di Jepang, para pejabat publik ketika terindikasi korupsi, terlibat
skandal, atau tidak mampu menangani persoalan, mereka akan mundur dengan
sukarela. Mereka menerapkan budaya malu karena sebagai pejabat publik mereka
tidak mampu menjalankan tugasnya atau amanah kepada rakyatnya.
Sangat
jauh berbeda dengan budaya pejabat publik di Indonesia. Sudah sangat jelas statusnya
sebagai tersangka, para pejabat publik tetap kokoh pendirian dengan
mempertahankan “ego” nya bahwa dia tetap tidak bersalah atau masih belum
terbukti kebenarannya.
Sebagai
representasi atau perwakilan rakyat, seharusnya pejabat publik mampu mengayomi,
bertanggungjawab dan memberikan contoh yang baik kepada rakyatnya. Jika sudah
terindikasi atau ditetapkan sebagai tersangka, sebaiknya para pejabat publik
langsung mundur dari jabatannya untuk membuktikan bahwa dirinya sebagai contoh yang
baik dan bertanggungjawab atas jabatannya.
Jika
memang tidak melakukan dan berbuat KKN, para pejabat publik yang sudah
ditetapkan sebagai tersangka, silahkan ikuti prosedur pengadilan yang sudah
disediakan sebagai tempat mencari keadilan. Setelah diproses pengadilan dan
ternyata terbukti tidak bersalah semisal, toh proses tersebut sudah membuktikan
bahwa dirinya memang tidak bersalah seperti dugaan awal bahwa dia tidak
melakukan praktek KKN.
Bagi
kita, hal tersebut adalah perbuatan paling mulia yang harus menjadi budaya para
pejabat publik di negeri ini kedepannya. Sehingga para pejabat publik
benar-benar mencerminkan dan sekaligus sebagai representasi wakil rakyat yang
baik dan patut dicontoh oleh semua kalangan.