Perubahan Harus Diantisipasi -->

Iklan Semua Halaman

Perubahan Harus Diantisipasi

Sabtu, 26 Maret 2016
Foto: Google
Keterlambatan pemerintah mengantisipasi perubahan dalam persaingan usaha akan menciptakan bom waktu. Kasus transportasi konvensional melawan transportasi berbasis aplikasi menjadi contoh. Konsensus tentang prinsip persaingan usaha per sektor merupakan solusi awal.

Hal ini mengemuka dalam seminar publik yang digelar Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Rabu (23/3). Seperti dilansir dari Kompas, Kamis, 24 Maret 2016.

Seminar bertajuk "Persaingan Usaha dan Kebijakan Ekonomi dalam Kerangka Reformasi Regulasi di Indonesia", itu antara lain menghadirkan Direktur Merger Komisi Pengawas persaingan Usaha (KPPU) Taufik Ariyanto, Ekonom Senior Australia Indonesia Partnership for Economic Governance Achmad Shauki, Sekretaris Jenderal Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Akbar Djohan, serta Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS Haryo Aswicahyono.

"Kejadian demo sopir adalah bom waktu. Akar masalahnya adalah pemerintah selalu terlambat dalam meregulasi satu model usaha baru," kata Akbar. Tingginya egosektoral setiap kementerian dan lembaga negara cenderung membuat para pemegang otoritas tersebut enggan berubah. Tarik-menarik kepentingan antarinstansi terus berlarut-larut. Padahal, perubahan sudah terjadi.

Taufik menekankan, KPPU mendukung regulasi yang mendorong inovasi. Untuk itu, diperlukan perubahan atas regulasi yang sudah ada. Secara paralel, pemerintah harus mengevaluasi semua perizinan yang disyaratkan terhadap transportasi umum konvensional. Orientasinya adalah efisiensi.

"Harus ada titik temu antara yang konvensional dan yang menggunakan aplikasi. Semua harus diatur. Tidak mungkin ada sektor ekonomi berjalan tanpa regulasi," kata Taufik.

Transportasi umum, menurut Taufik, perlu mempertimbangkan beberapa prinsip persaingan usaha. Pertama, keselamatan penumpang merupakan prinsip paling utama. Berkaitan dengan hal tersebut, tanggung jawab berada pada perusahaan dan tidak bisa dilimpahkan ke sopir.

Prinsip kedua, inovasi harus dilindungi. Ketiga, tidak ada proteksi terhadap pemain yang sudah ada. Keempat, peran asosiasi dalam menentukan harga harus dikurangi. Dalam hal ini, pemerintah yang harus mengatur.

Taufik mengingatkan, keributan berdasarkan kutub konvensional dan kutub berbasis teknologi informasi rawan terjadi di sektor lain. Sektor yang juga rawan ini antara lain perdagangan, perhotelan, jasa keuangan, dan pertanian. "Secara natural, regulasi akan selalu terlambat mengantisipasi. Tetapi, kalau sudah tahu terlambat, ya harus loncat. Jangan stagnan," ujarnya.

Efisiensi

Shauki menegaskan, persaingan usaha yang sehat penting untuk meningkatkan efisiensi perekonomian nasional mendorong inovasi serta menjamin stabilitas harga dan efisiensi birokrasi. Ini pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Ia juga menilai, kualitas regulasi di Indonesia umumnya rendah. Mayoritas berupa peraturan menteri dan peraturan direktur jenderal.

Sementara itu, Haryo mendorong pemerintah memasukkan pertimbangan persaingan usaha dalam tiap regulasi yang dibuat. Hal praktis yang bisa dimulai adalah membuat konsensus tentang prinsip-prinsip persaingan usaha per sektor.

"Idealnya ada konsensus bersama soal prinsip-prinsip persaingan usaha. Pada tahap berikutnya, ini didokumentasikan secara resmi sehingga menjadi acuan setiap regulasi yang dibuat pemerintah," kata Haryo.

Perkembangan ekonomi digital memang mendesak untuk segera diantisipasi dengan penyiapan regulasi. Direktur Eksekutif dan CEO IPMI International Business School Jimmy Gani mengatakan, inovasi yang ditawarkan bisnis digital dapat mengganggu model bisnis konvensional. Ini perlu diantisipasi dengan regulasi yang memungkinkan bisnis digital dan konvensional bersaing secara sehat.

Jimmy menilai perkembangan bisnis digital tak luput dari arus urbanisasi dan globalisasi yang mendorong orang hidup makin praktis. Inovasi bisnis berbasis digital meluas bukan hanya di sektor transportasi, melainkan juga perbankan, ritel, makanan, dan pendidikan. Arus ekonomi digital menawarkan layanan, kenyamanan, efisiensi, dan aksesibilitas. Pasarnya tak terbatas.

Jimmy menambahkan, ekonomi digital merupakan tantangan zaman yang membuka peluang usaha bagi generasi muda. Pasar digital tak terbatas. Terkait itu, perlu regulasi yang tidak menghambat inovasi, tetapi memuat ketentuan pajak yang jelas bagi bisnis digital dan konvensional.

Duta Besar Singapura untuk ASEAN Tan Hung Seng mengemukakan, Singapura juga menghadapi fenomena ekonomi digital yang tumbuh pesat. Pemerintah Singapura fokus menumbuhkan bisnis digital antara lain dengan melatih sumber daya manusia, menggencarkan riset dan pengembangan untuk menumbuhkan usaha, serta membuka akses pembiayaan untuk usaha kecil dan menengah. (Oci)