![]() |
Foto: Google |
Keterlambatan pemerintah mengantisipasi perubahan
dalam persaingan usaha akan menciptakan bom waktu. Kasus transportasi
konvensional melawan transportasi berbasis aplikasi menjadi contoh. Konsensus
tentang prinsip persaingan usaha per sektor merupakan solusi awal.
Hal ini mengemuka dalam seminar publik yang digelar
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Rabu (23/3). Seperti dilansir dari Kompas, Kamis, 24 Maret 2016.
Seminar bertajuk "Persaingan Usaha dan
Kebijakan Ekonomi dalam Kerangka Reformasi Regulasi di Indonesia", itu
antara lain menghadirkan Direktur Merger Komisi Pengawas persaingan Usaha
(KPPU) Taufik Ariyanto, Ekonom Senior Australia Indonesia Partnership for
Economic Governance Achmad Shauki, Sekretaris Jenderal Asosiasi Logistik dan Forwarder
Indonesia (ALFI) Akbar Djohan, serta Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS
Haryo Aswicahyono.
"Kejadian demo sopir adalah bom waktu. Akar
masalahnya adalah pemerintah selalu terlambat dalam meregulasi satu model usaha
baru," kata Akbar. Tingginya egosektoral setiap kementerian dan lembaga
negara cenderung membuat para pemegang otoritas tersebut enggan berubah.
Tarik-menarik kepentingan antarinstansi terus berlarut-larut. Padahal,
perubahan sudah terjadi.
Taufik menekankan, KPPU mendukung regulasi yang mendorong
inovasi. Untuk itu, diperlukan perubahan atas regulasi yang sudah ada. Secara
paralel, pemerintah harus mengevaluasi semua perizinan yang disyaratkan
terhadap transportasi umum konvensional. Orientasinya adalah efisiensi.
"Harus ada titik temu antara yang konvensional
dan yang menggunakan aplikasi. Semua harus diatur. Tidak mungkin ada sektor
ekonomi berjalan tanpa regulasi," kata Taufik.
Transportasi umum, menurut Taufik, perlu
mempertimbangkan beberapa prinsip persaingan usaha. Pertama, keselamatan
penumpang merupakan prinsip paling utama. Berkaitan dengan hal tersebut,
tanggung jawab berada pada perusahaan dan tidak bisa dilimpahkan ke sopir.
Prinsip kedua, inovasi harus dilindungi. Ketiga,
tidak ada proteksi terhadap pemain yang sudah ada. Keempat, peran asosiasi
dalam menentukan harga harus dikurangi. Dalam hal ini, pemerintah yang harus
mengatur.
Taufik mengingatkan, keributan berdasarkan kutub
konvensional dan kutub berbasis teknologi informasi rawan terjadi di sektor
lain. Sektor yang juga rawan ini antara lain perdagangan, perhotelan, jasa
keuangan, dan pertanian. "Secara natural, regulasi akan selalu terlambat
mengantisipasi. Tetapi, kalau sudah tahu terlambat, ya harus loncat. Jangan
stagnan," ujarnya.
Efisiensi
Shauki menegaskan, persaingan usaha yang sehat
penting untuk meningkatkan efisiensi perekonomian nasional mendorong inovasi
serta menjamin stabilitas harga dan efisiensi birokrasi. Ini pada gilirannya
akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Ia juga menilai, kualitas regulasi di
Indonesia umumnya rendah. Mayoritas berupa peraturan menteri dan peraturan
direktur jenderal.
Sementara itu, Haryo mendorong pemerintah
memasukkan pertimbangan persaingan usaha dalam tiap regulasi yang dibuat. Hal
praktis yang bisa dimulai adalah membuat konsensus tentang prinsip-prinsip
persaingan usaha per sektor.
"Idealnya ada konsensus bersama soal
prinsip-prinsip persaingan usaha. Pada tahap berikutnya, ini didokumentasikan
secara resmi sehingga menjadi acuan setiap regulasi yang dibuat
pemerintah," kata Haryo.
Perkembangan ekonomi digital memang mendesak untuk
segera diantisipasi dengan penyiapan regulasi. Direktur Eksekutif dan CEO IPMI
International Business School Jimmy Gani mengatakan, inovasi yang ditawarkan
bisnis digital dapat mengganggu model bisnis konvensional. Ini perlu
diantisipasi dengan regulasi yang memungkinkan bisnis digital dan konvensional
bersaing secara sehat.
Jimmy menilai perkembangan bisnis digital tak luput
dari arus urbanisasi dan globalisasi yang mendorong orang hidup makin praktis.
Inovasi bisnis berbasis digital meluas bukan hanya di sektor transportasi,
melainkan juga perbankan, ritel, makanan, dan pendidikan. Arus ekonomi digital
menawarkan layanan, kenyamanan, efisiensi, dan aksesibilitas. Pasarnya tak
terbatas.
Jimmy menambahkan, ekonomi digital merupakan
tantangan zaman yang membuka peluang usaha bagi generasi muda. Pasar digital
tak terbatas. Terkait itu, perlu regulasi yang tidak menghambat inovasi, tetapi
memuat ketentuan pajak yang jelas bagi bisnis digital dan konvensional.
Duta Besar Singapura untuk ASEAN Tan Hung Seng
mengemukakan, Singapura juga menghadapi fenomena ekonomi digital yang tumbuh
pesat. Pemerintah Singapura fokus menumbuhkan bisnis digital antara lain dengan
melatih sumber daya manusia, menggencarkan riset dan pengembangan untuk
menumbuhkan usaha, serta membuka akses pembiayaan untuk usaha kecil dan
menengah. (Oci)