Oleh: Miqdad Husein*
Sebagian besar masyarakat negeri ini yang menggunakan fasilitas komunikasi whatsapp, BBM
dan lainnya pernah membaca kata “viral.” Biasanya kata itu ada diujung
informasi atau pesan yang diterima, baik dalam komunikasi personal alias
jaringan pribadi atau di lingkungan group. “Ayo Viralkan,” begitu
biasanya tertulis diakhir pesan.
Apa arti kata itu? Kata viral memang tergolong baru dalam
perbendaraan bahasa Indonesia. Namun walau banyak yang kurang mengerti
arti secara sintaksis sebagian besar masyarakat penerima kata “viral”
memahami maksudnya. Bahwa pesan berisi berita atau informasi itu perlu
disebarkan, dibuat geger, jadi perhatian agar masyarakat luas
terpengaruh, terpanggil mengikuti maksud dari pesan itu.
Berasal dari kata virus dan virtual kata viral yang berasal dari
bahasa Inggris memang bermakna tidak jauh dari karakter virus yang mudah
menyebar dan virtual yang berarti tidak nyata. Intinya ya itu tadi, diviralkan berarti disebarkan luas secara cepat agar jadi berita dasyat.
Dari pengertian dan maksud kata viral yang belakangan mulai menyebar
sehingga akrab di tengah masyarakat dan bahkan masyarakat sudah menjadi
bagian dari proses “memviralkan” ada sesuatu yang tidak disadari
berubah luar biasa dalam kehidupan sosial masyarakat negeri ini.
Pertama, kemajuan dan kemudahan komunikasi telah melibatkan masyarakat
dalam proses penyebaran berita. Diam-diam masyarakat belakangan ini yang
sebelumnya sekedar menjadi konsumen berita mulai berperan aktif sebagai
penyebar dan bahkan pembuat berita.
Secara bercanda, sekarang ini masyarakat sudah menjadi wartawan baru
dengan tingkat efektivitas dan kecepatan sangat tinggi. Ketersediaan
perangkat komunikasi canggih makin mempermudah masyarakat berperan
sebagai wartawan dadakan. Masih ingat kasus peledakan bom di Kampung
Melayu? Dengan sangat menyesal media konvensional seperti televisi,
media cetak termasuk website kalah cepat dengan berita dari
tangan-tangan yang bermodalkan ponsel.
Kedua, yang layak menjadi catatan, tanpa disadari berkembang pula
etos kerja wartawan di tengah masyarakat yaitu keinginan menyampaikan
berita paling cepat. Ada kegairahan tinggi untuk saling berupaya
menyebarkan berita. Inipun –dari kasus Bom Kampung Melayu- terbukti
mampu menyaingi kegairahan wartawan profesional.
Jika fenomena ini merebak dalam penyebaran informasi pengetahuan,
nilai-nilai agama, cerita inspiratif, humor mungkin bisa memberi manfaat
besar dengan sedikit resiko. Barangkali hanya para penceramah agama
yang harus memutar otak lebih intens karena berbagai topik bahasan sudah
lebih dahulu beredar di media sosial.
Namun menjadi masalah ketika kegairahan wartawan dadakan ini tidak
dibarengi pemahaman etika pemberitaan. Menyebarkan penggalan kepala,
kaki, tangan, darah berceceran yang di media konvensional semaksimal
mungkin ditutupi, ditangan wartawan instan itu bisa beredar tanpa
sedikitpun ada sensor. Pertimbangan dampak psikologi apalagi kode etik
jurnalistik sama sekali terabaikan.
Yang juga menghawatirkan ketika konten informasi dirasuki kepentingan
-sebut saja politik bernuansa konflik. Masyarakat hanya menelan begitu
saja lalu menyebarkan dan terus menyebarkan hingga terjadi eskalasi
dasyat mempengaruhi pikiran dan perilaku masyarakat. Termasuk di sini
konten hoax, pembodohan, manipulasi berita, fitnah dan sejenisnya. Semua
bisa begitu mudah menyebar karena kegairahan tanpa kontrol para
wartawan dadakan itu.
Kasus Pilkada Jakarta bisa menjadi contoh dampak buruk pemberitaan
juru berita instan baik di komunikasi terbatas maupun media sosial.
Masyarakat negeri ini seakan terserabut dari akar budaya dan karakter
aslinya. Ujaran kasar, permusuhan, fitnah, manipulasi begitu mudah
tersebar dan celakanya sering begitu saja dipercaya lantas disebarkan
lagi. Sebuah kekacauan informasi sudah pasti amat sangat mudah terjadi.
Lantas bisakah semangat menviralkan ini dibendung? Jelas hampir
mustahil. Apa yang terjadi seperti arus budaya yang akan melabrak
apapun. Apalagi ketika semangat itu menjadi kebanggaan: saya lho yang
tahu duluan, saya yang pertama menyebarkan.
Barangkali yang lebih masuk akal bukan menghentikan tetapi bagaimana
memberi semacam bingkai pemahaman. Yang terpenting di sini adalah
menumbuhkan kesadaran klarifikasi, verifikasi atau ceck and riceck
termasuk pula etika konten berita or informasi. Ini akan sedikit
meredakan gairah luar biasa untuk menyebarkan berita sekaligus
menumbuhkan pemahaman masalah konten informasi apakah benar atau bohong.
Seperti disebut penulis David Kushner inilah penyakit sesungguhnya dan
bukan pada persoalan kontennya yaitu kurangnya kesadaran mencari bukti,
bertanya dan berpikir kritis yang perlu disembuhkan. Ini yang perlu
ditanamkan untuk menghadapi fenomena “menviralkan.”
Berbahaya bila kegairahan memberitakan tanpa kesadaran klarifikasi, verifikasi.(*)