Calon kepala daerah yang
melakukan praktik politik uang diusulkan untuk didiskualifikasi atau dicoret
dari pencalonan. Sanksi tersebut diyakini lebih efektif untuk mengurangi
praktik politik uang yang masif dibandingkan sanksi yang ada selama ini yang
belum menjerakan.
Gagasan
pemberian sanksi diskualifikasi bagi calon kepala daerah dan wakilnya itu
mencuat dalam rapat dengar pendapat Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dengan penyelenggara pemilu dengan agenda evaluasi pilkada serentak 2015, Senin
(1/2). Ide itu awalnya dilontarkan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP) Jimly Asshiddiqie yang kemudian disambut anggota Komisi II.
Menurut
Jimly, sanksi pidana pemilu kurang efektif untuk mencegah politik uang dalam
pilkada. Hukuman penjara yang maksimal hanya sembilan bulan tak akan membuat
jera.
"Ada
baiknya dipertimbangkan untuk mengubah sanksi pidana ke sanksi etika. Lebih
baik ancamannya diskualifikasi kepesertaan pilkada dibanding pidana
pemilu," kata Jimly.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada tidak secara spesifik mengatur sanksi bagi
pelaku politik uang. Selama ini, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengacu pada
Pasal 149 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur ancaman pidana
sembilan bulan jika seseorang menjanjikan sesuatu pada masa pemilihan atau
menyuap agar orang lain tidak memakai hak pilihnya.
Mantan
Ketua Mahkamah Konstitusi itu menambahkan, selama ini banyak kasus politik uang
yang tak diusut tuntas. Akibatnya, praktik itu tetap marak.
Banyaknya
politik uang juga menjadi temuan Bawaslu. Ketua Umum Bawaslu Muhammad
menjelaskan, praktik politik uang itu bisa berupa pembagian bahan kebutuhan
pokok, kupon, sarung, ataupun uang.
Pengetatan
aturan
Gagasan
diskualifikasi pelaku politik uang itu disambut baik anggota Komisi II, salah
satunya Dadang S Muchtar dari Fraksi Partai Golkar (F-PG). Mantan Bupati
Karawang, Jawa Barat, itu menyampaikan kekhawatirannya akan praktik politik
uang yang sudah terbuka dan masif. Ia mengusulkan perlunya sanksi tegas dan
menjerakan.
"Kalau
ada fakta dan bukti calon atau tim kampanye melakukan politik uang, ya,
langsung gugurkan saja," katanya.
Anggota
Komisi II dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), M Arwani Thomafi,
juga sependapat jika UU Pilkada baru perlu mengatur pengetatan terhadap praktik
politik uang. Tak hanya sanksi, ia pun mengusulkan perluasan definisi dan ruang
lingkup politik uang.
"Selama
ini, money politics hanya
dilihat selama masa kampanye hingga pemungutan suara. Ada baiknya jika diperluas,
dari masa pencalonan, pemungutan suara, hingga rekapitulasi suara,"
tuturnya.
Terkait
hal itu, Komisi II pun meminta Bawaslu mencari terobosan hukum sesuai
kewenangan yang dimiliki untuk memberikan sanksi tegas, termasuk diskualifikasi
kepesertaan pilkada, terhadap calon yang terbukti melakukan politik uang.
Namun
soal gagasan diskualifikasi, anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (F-PDIP) Arif Wibowo ragu bahwa sanksi tersebut dapat
mencegah politik uang. Pertimbangannya, sulit untuk mengaitkan pembagian
uang/barang dengan pasangan calon.
Sengketa
di MK
Senin
kemarin, Mahkamah Konstitusi melanjutkan sidang perkara perselisihan hasil
pemilihan (PHP) kepala daerah di lima daerah dengan agenda pembuktian. Tiap
pihak (pemohon, KPU, dan pihak terkait) diminta menyiapkan masing-masing lima
saksi.
Terkait
hal tersebut, MK disarankan untuk tidak terlalu kaku dalam menetapkan
pembatasan jumlah saksi dalam persidangan PHP kepala daerah. MK diminta
benar-benar mencari kebenaran substansi dalam perkara-perkara pilkada yang
tersisa.
"Dari
awal, sebaiknya hakim konstitusi tidak membatasi jumlah saksi. Dibiarkan saja
nanti, kan, hakim dapat mengendalikan kesaksian. Apabila keterangannya sama,
ya, tidak perlu dilanjutkan," kata peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi, Fadli Ramadhanil.
Ditemui
di Gedung MK, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Saldi
Isra mengingatkan para hakim konstitusi untuk jeli dalam bekerja. Salah satu
contoh, yang dikatakan Saldi patut dicermati adalah soal pola pencoblosan.
"Dicoblos
dengan paku itu, kan, ada maksudnya. Jadi harus diamati, misalnya, lubang
pencoblosan yang sangat besar. Apakah jumlah coblosan yang besar lubangnya itu
banyak? Jika banyak, pasti ada sesuatu," ujarnya.(NTA/RYO/REK/C01)
Dilansir dari: www.kompas.com