Coret Pelaku Politik Uang -->

Iklan Semua Halaman

Coret Pelaku Politik Uang

Kamis, 04 Februari 2016
Calon kepala daerah yang melakukan praktik politik uang diusulkan untuk didiskualifikasi atau dicoret dari pencalonan. Sanksi tersebut diyakini lebih efektif untuk mengurangi praktik politik uang yang masif dibandingkan sanksi yang ada selama ini yang belum menjerakan.


Gagasan pemberian sanksi diskualifikasi bagi calon kepala daerah dan wakilnya itu mencuat dalam rapat dengar pendapat Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan penyelenggara pemilu dengan agenda evaluasi pilkada serentak 2015, Senin (1/2). Ide itu awalnya dilontarkan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie yang kemudian disambut anggota Komisi II.

Menurut Jimly, sanksi pidana pemilu kurang efektif untuk mencegah politik uang dalam pilkada. Hukuman penjara yang maksimal hanya sembilan bulan tak akan membuat jera.

"Ada baiknya dipertimbangkan untuk mengubah sanksi pidana ke sanksi etika. Lebih baik ancamannya diskualifikasi kepesertaan pilkada dibanding pidana pemilu," kata Jimly.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada tidak secara spesifik mengatur sanksi bagi pelaku politik uang. Selama ini, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengacu pada Pasal 149 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur ancaman pidana sembilan bulan jika seseorang menjanjikan sesuatu pada masa pemilihan atau menyuap agar orang lain tidak memakai hak pilihnya.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menambahkan, selama ini banyak kasus politik uang yang tak diusut tuntas. Akibatnya, praktik itu tetap marak.

Banyaknya politik uang juga menjadi temuan Bawaslu. Ketua Umum Bawaslu Muhammad menjelaskan, praktik politik uang itu bisa berupa pembagian bahan kebutuhan pokok, kupon, sarung, ataupun uang.

Pengetatan aturan

Gagasan diskualifikasi pelaku politik uang itu disambut baik anggota Komisi II, salah satunya Dadang S Muchtar dari Fraksi Partai Golkar (F-PG). Mantan Bupati Karawang, Jawa Barat, itu menyampaikan kekhawatirannya akan praktik politik uang yang sudah terbuka dan masif. Ia mengusulkan perlunya sanksi tegas dan menjerakan.
"Kalau ada fakta dan bukti calon atau tim kampanye melakukan politik uang, ya, langsung gugurkan saja," katanya.

Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), M Arwani Thomafi, juga sependapat jika UU Pilkada baru perlu mengatur pengetatan terhadap praktik politik uang. Tak hanya sanksi, ia pun mengusulkan perluasan definisi dan ruang lingkup politik uang.

"Selama ini, money politics hanya dilihat selama masa kampanye hingga pemungutan suara. Ada baiknya jika diperluas, dari masa pencalonan, pemungutan suara, hingga rekapitulasi suara," tuturnya.

Terkait hal itu, Komisi II pun meminta Bawaslu mencari terobosan hukum sesuai kewenangan yang dimiliki untuk memberikan sanksi tegas, termasuk diskualifikasi kepesertaan pilkada, terhadap calon yang terbukti melakukan politik uang.

Namun soal gagasan diskualifikasi, anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) Arif Wibowo ragu bahwa sanksi tersebut dapat mencegah politik uang. Pertimbangannya, sulit untuk mengaitkan pembagian uang/barang dengan pasangan calon.

Sengketa di MK

Senin kemarin, Mahkamah Konstitusi melanjutkan sidang perkara perselisihan hasil pemilihan (PHP) kepala daerah di lima daerah dengan agenda pembuktian. Tiap pihak (pemohon, KPU, dan pihak terkait) diminta menyiapkan masing-masing lima saksi.

Terkait hal tersebut, MK disarankan untuk tidak terlalu kaku dalam menetapkan pembatasan jumlah saksi dalam persidangan PHP kepala daerah. MK diminta benar-benar mencari kebenaran substansi dalam perkara-perkara pilkada yang tersisa.

"Dari awal, sebaiknya hakim konstitusi tidak membatasi jumlah saksi. Dibiarkan saja nanti, kan, hakim dapat mengendalikan kesaksian. Apabila keterangannya sama, ya, tidak perlu dilanjutkan," kata peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil.

Ditemui di Gedung MK, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra mengingatkan para hakim konstitusi untuk jeli dalam bekerja. Salah satu contoh, yang dikatakan Saldi patut dicermati adalah soal pola pencoblosan.

"Dicoblos dengan paku itu, kan, ada maksudnya. Jadi harus diamati, misalnya, lubang pencoblosan yang sangat besar. Apakah jumlah coblosan yang besar lubangnya itu banyak? Jika banyak, pasti ada sesuatu," ujarnya.(NTA/RYO/REK/C01)


Dilansir dari: www.kompas.com