Kesadaran pelaku industri kreatif mendaftarkan hak
kekayaan intelektual dinilai masih rendah. Salah satu penyebabnya, pengurusan
pendaftaran yang kerap dianggap mahal dan rumit. Hal ini berdampak pada
perlindungan dan nilai ekonomi produk.
Deputi Bidang Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual
dan Regulasi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Ari Juliano Gema di sela-sela
pembukaan Social Media Week 2016, Rabu (23/2), di Jakarta, mengungkapkan,
perspektif pengurusan pendaftaran hak kekayaan intelektual (HKI) yang mahal dan
rumit sering menjadi perbincangan di kalangan pelaku industri kreatif. Menurut
mereka, upaya mendaftarkan karya itu sebagai beban. Seperti dikutip dari kompas.com
"Perspektif itu harus diubah. Bahkan, di
antara sesama pelaku industri, ada yang belum mengerti dan tujuan memiliki HKI
atas karya mereka. Ini menjadi pekerjaan rumah kami untuk meningkatkan edukasi
dan sosialisasi," ujar Ari.
Mengacu Buku Panduan HKI yang
diterbitkan Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,
HKI adalah hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasilkan suatu produk
atau proses hasil kreativitas intelektual. HKI dibagi dua, yakni hak cipta dan
hak kekayaan industri.
Hak kekayaan industri mencakup paten, desain
industri, merek, tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, dan penanggulangan
praktik kecurangan persaingan.
Mengutip Laporan Tahunan Direktorat Jenderal HKI
Tahun 2012, permohonan desain industri tumbuh 9,91 persen. Adapun pemohon paten
7.032 atau tumbuh 14,71 persen. Permohonan pendaftaran merek 62.455 atau tumbuh
17,41 persen.
Bekraf meluncurkan aplikasi Bekraf's IPR
(Intellectual Property Rights) Info in Mobile Apps atau BIIMA. Menurut Ari,
aplikasi ini masih berupa informasi seputar HKI dan proses pendaftaran untuk
setiap jenis berikut biayanya.
"Ini adalah salah satu strategi kami melakukan
edukasi dan sosialisasi bagi para pelaku industri kreatif. Modal mereka adalah
ide yang harus dilindungi. Perspektifnya perlu diubah, yakni HKI sebagai bagian
investasi sebuah karya jangka panjang," kata Ari.
Untuk mempromosikan BIIMA, lanjut dia, Bekraf akan
bekerja sama dengan komunitas-komunitas pelaku industri kreatif.
Infrastruktur
Pada saat bersamaan, Kepala Bekraf Triawan Munaf
menyampaikan, upaya peluncuran BIIMA akan diikuti dengan pengembangan
infrastruktur sistem pendaftaran HKI secara elektronik. Langkah ini akan
dimasukkan ke dalam salah satu program Bekraf bersama Direktorat Jenderal HKI
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Direktorat Jenderal HKI dianggap sudah mempunyai
peta jalan pengembangan sistem pendaftaran secara elektronik. Bekraf siap
menghubungkan sistem pada aplikasi tersebut dengan server Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia.
"Infrastruktur pendaftaran harus semakin
memudahkan industri. Apalagi, melalui HKI, suatu karya bisa dipasarkan hingga
ke luar negeri. Dengan begitu, HKI bisa mendorong akselerasi ekonomi kreatif
Indonesia," ujar Triawan.
Melalui HKI, pemilik atau pemegang lisensi dapat
mengolah HKI karya itu ke dalam berbagai bentuk produk.
Salah satu contohnya, karakter komik Si Juki
ciptaan Faza Ibnu Ubaidilah. Karakter mahasiswa berlatar belakang Betawi ini
lahir pada 2011 melalui komik, kemudian dipasarkan ke komik DKV4 dan komunitas
komikus di Kaskus. Setahun berikutnya, karakter Si Juki mendapatkan HKI.
Pada 2014, karakter Si Juki tidak lagi muncul di
media komik, tetapi dalam bentuk mainan, kaus, dan pernak-pernik lain. Komik Si
Juki berkembang dengan berbagai sudut pandang cerita, seperti Nostalgia
Ramadhan Si Juki kecil yang dimuat di LINE Webtoon. Proyek ini memberikan
pendapatan berlipat.
"Soal plagiasi, pendaftaran HKI mampu
memberikan perlindungan hukum bagi pencipta karya," kata Triawan.