Oleh: Ahmad Fairozi*
Potret pendidikan di Indonesia masih mengecewakan.
Banyakya perilaku timpang yang menerpa dunia pendidikan, menjadikan mutu pendidikan
di Indonesia mengalami degradasi. Sangat disayangkan dengan munculnya statement
pendidikan “unggulan” dan “terbelakang” yang sepertinya sudah melekat dalam
benak para penyelenggara pendidikan dan masyarakat di tanah air tercinta ini.
Pemahaman tentang statemen pendidikan “unggulan” yang
seakan-akan hanya terdapat di pusat-pusat perkotaan, lumrahnya fasilitas
penunjang pendidikan hampir dipastikan merata. Namun tidak berbanding terbalik
dengan pendidikan di daerah pinggiran kota atau bahkan di pedalaman yang
netabene dikenal dengan pendidikan dengan sebutan “terbelakang”.
Hal inilah yang menjadikan skat terhadap dunia
pendidikan. Sehingga penyelenggara pendidikan yang berada di perkotaan seakan
menjadi vaforit para wali murid untuk berbondong-bondong menyekolahkan anaknya
di daerah perkotaan dibandingkan dengan asal-muasal keberadaannya, yaitu daerah
pinggiran kota atau daerah pedalaman.
Paradigma yang terbangun di masyarakatpun berkembang
bahwa, penyelenggara pendidikan yang berada di pinggiran kota dan daerah
pedalaman menjadikannya seolah-olah sebagai penyelenggara pendidikan yang
“terbelakang” dan kalah dengan statemen adanya pendidikan “unggulan” yang
notabene berada di daerah perkotaan.
Statemen pendidikan “unggulan” dan “terbelakang” mungkin
juga tidak menjadi salah keberadaannya, karena daerah pinggiran kota dan daerah
pedalaman memang kurang diperhatikan, baik oleh pemerintah pusat dan daerah
maupun stakeholder.
Dari fasilitas antara penyelenggara pendidikan di
perkotaan sudah lebih memadai daripada di pinggiran kota dan daerah pedalaman, contoh
kecil misalnya; keberadaan laboratorium sebagai penunjang aktivitas belajar
mengajar, tidak banyak dimiliki oleh sekolah-sekolah formal yang berada di
pedalaman atau perdesaan, transformasi teknologi dan informasi juga cenderung
lamban, sehingga potret pendidikan perkotaan dan pinggiran kota dengan daerah
pedalaman terjadi ketimpangan dan cenderung diskriminatif.
Bagaimana tidak cenderung diskriminatif jika
pendidikan di perdesaan dipangdang sebelah mata oleh pemerintah atau bahkan stakeholder?
Mustahil rakyat Indonesia akan menjadi kaum intelektual dan berpendidikan jika
perhatian pemerintah maupun stakeholder hanya terfokus pada pembangunan
perkotaan, dalam bidang apapun, termasuk didalamnya adalah pendidikan.
Semangat
pendidikan
Menurut Prof. H. Mahmud Yunus, yang dimaksud pendidikan ialah suatu usaha yang dengan sengaja
dipilih untuk mempengaruhi dan membantu anak yang bertujuan untuk meningkatkan
ilmu pengetahuan, jasmani dan akhlak sehingga secara perlahan bisa mengantarkan
anak kepada tujuan dan cita-citanya yang paling tinggi. Agar memperoleh
kehidupan yang bahagia dan apa yang dilakukanya dapat bermanfaat bagi dirinya
sendiri, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya.
Tidak jauh berbeda, menurut Ki Hajar
Dewantara,
pendidikan adalah suatu tuntutan di
dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya ialah bahwa pendidikan menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar sebagai manusia dan
anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup yang
setinggi-tingginya.
Sedangkan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan yaitu sebuah proses
pembelajaran bagi setiap individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang
lebih tinggi mengenai obyek tertentu dan spesifik. Pengetahuan yang diperoleh
secara formal tersebut berakibat pada setiap individu yaitu memiliki pola
pikir, perilaku dan akhlak yang sesuai dengan pendidikan yang diperolehnya.
Perlu ditegaskan bahwa, semangat dalam penyelenggaraan pendidikan
di kota, pinggiran kota dan bahkan pedalaman atau perdesaan memiliki tujuan
yang sama, yaitu mendidik dan membantu anak didiknya menjadi manusia yang
berpengetahuan luas (intelektualitas tinggi), sehingga mampu merealisasikan
tujuannya dan dapat bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika devinisi dan pengertian pendidikan demikian kita sepakati,
sudah seharusnya dan semestinya pendidikan tidak terkoptasi dalam paradigma pendidikan
“unggulan” maupun “terbelakang”. Karena semangat penyelenggaraan pendidikan
sama, ingin melahirkan kaum terdidik yang tingkat intelektualitasnya tinggi
serta mendorong peserta didiknya agar mampu mencapai tujuannya, tentunya dapat
bermanfaat bagi dirinya, lingkungannya, serta hidup orang banyak.
Terjadinya ketimpangan dalam dunia pendidikan disebabkan oleh
banyak faktor, termasuk perhatian pemerintah bagi penyelenggara pendidikan yang
berada di pinggiran perkotaan, pedalaman atau perdesaan. Lemahnya tranformasi
teknologi dan dukungan sumber daya manusia sebagai tenaga pengajar dan tak
kalah gawatnya adalah ketersediaan bangunan sekolah dan daya dukung aktivitas
belajar mengajar lainnya juga menjadi hambatan serius tercapainya tujuan
penyelenggaraan pendidikan.
Disamping itu, stakeholder (masyarakat) juga berperan penting
dalam menyukseskan penyelenggaraan pendidikan. Perhatian serta dukungan
masyarakat juga sangat diperlukan, agar penyelenggara pendidikan mampu
memaksimalkan perannya dalam mendidik dan menghasilkan peserta didik yang
sesuai dengan tujuan dasar pendidikan.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan terhadap mutu pendidikan
juga harus mawas diri, perhatian yang hanya terpusat pada pembangunan perkotaan
sudah semestinya harus digeser untuk memajukan daerah pedalaman maupun
perdesaan. Agar pendidikan menjadi manfaat bagi perkembangan serta pembangunan
bangsa dan negara kedepan, penting untuk dilakukan supaya pemerataan pendidikan
antara perkotaan dengan perdesaan segera terealisasikan.
Maka kesan diskriminatif terhadap pendidikan yang notabene berada
di perkotaan dengan di perdesaan tidak terjadi. Keadilan dalam mengenyam
pendidikan dengan mutu yang sama antara perkotaan dengan perdesaan akan
dirasakan oleh pelajar yang sedang mengikuti jenjang pendidikan secara formal.
Tidak terkoptasi oleh paradigma yang merugikan dunia pendidikan itu sendiri.
Pemerintah dan stakeholder sudah saatnya membuang jauh-jauh paradigma
pendidikan “unggulan” maupun “terbelakang” yang akan menyebabkan kita terjebak
dalam pengertian dan pemahaman yang sempit, kini saatnya bahu-membahu mendorong
penyelenggara pendidikan agar supaya mampu mencapai tujuan pendidikan itu
sendiri. Sehingga tanggungjawab suksesnya penyelenggaraan pendidikan tidak
hanya terbebankan kepada pemerintah dan pihak penyelenggara saja, namun peran
stakeholder juga menjadi penentu susksesnya penyelenggaraan pendidikan.
*)Aktivis di Kota Malang