Ketimpangan Dalam Dunia Pendidikan Di Indonesia -->

Iklan Semua Halaman

Ketimpangan Dalam Dunia Pendidikan Di Indonesia

Kamis, 14 Januari 2016
Oleh: Ahmad Fairozi*
Potret pendidikan di Indonesia masih mengecewakan. Banyakya perilaku timpang yang menerpa dunia pendidikan, menjadikan mutu pendidikan di Indonesia mengalami degradasi. Sangat disayangkan dengan munculnya statement pendidikan “unggulan” dan “terbelakang” yang sepertinya sudah melekat dalam benak para penyelenggara pendidikan dan masyarakat di tanah air tercinta ini.

Pemahaman tentang statemen pendidikan “unggulan” yang seakan-akan hanya terdapat di pusat-pusat perkotaan, lumrahnya fasilitas penunjang pendidikan hampir dipastikan merata. Namun tidak berbanding terbalik dengan pendidikan di daerah pinggiran kota atau bahkan di pedalaman yang netabene dikenal dengan pendidikan dengan sebutan “terbelakang”.
Hal inilah yang menjadikan skat terhadap dunia pendidikan. Sehingga penyelenggara pendidikan yang berada di perkotaan seakan menjadi vaforit para wali murid untuk berbondong-bondong menyekolahkan anaknya di daerah perkotaan dibandingkan dengan asal-muasal keberadaannya, yaitu daerah pinggiran kota atau daerah pedalaman.
Paradigma yang terbangun di masyarakatpun berkembang bahwa, penyelenggara pendidikan yang berada di pinggiran kota dan daerah pedalaman menjadikannya seolah-olah sebagai penyelenggara pendidikan yang “terbelakang” dan kalah dengan statemen adanya pendidikan “unggulan” yang notabene berada di daerah perkotaan.
Statemen pendidikan “unggulan” dan “terbelakang” mungkin juga tidak menjadi salah keberadaannya, karena daerah pinggiran kota dan daerah pedalaman memang kurang diperhatikan, baik oleh pemerintah pusat dan daerah maupun stakeholder.
Dari fasilitas antara penyelenggara pendidikan di perkotaan sudah lebih memadai daripada di pinggiran kota dan daerah pedalaman, contoh kecil misalnya; keberadaan laboratorium sebagai penunjang aktivitas belajar mengajar, tidak banyak dimiliki oleh sekolah-sekolah formal yang berada di pedalaman atau perdesaan, transformasi teknologi dan informasi juga cenderung lamban, sehingga potret pendidikan perkotaan dan pinggiran kota dengan daerah pedalaman terjadi ketimpangan dan cenderung diskriminatif.
Bagaimana tidak cenderung diskriminatif jika pendidikan di perdesaan dipangdang sebelah mata oleh pemerintah atau bahkan stakeholder? Mustahil rakyat Indonesia akan menjadi kaum intelektual dan berpendidikan jika perhatian pemerintah maupun stakeholder hanya terfokus pada pembangunan perkotaan, dalam bidang apapun, termasuk didalamnya adalah pendidikan.
Semangat pendidikan
Menurut Prof. H. Mahmud Yunus, yang dimaksud pendidikan ialah suatu usaha yang dengan sengaja dipilih untuk mempengaruhi dan membantu anak yang bertujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, jasmani dan akhlak sehingga secara perlahan bisa mengantarkan anak kepada tujuan dan cita-citanya yang paling tinggi. Agar memperoleh kehidupan yang bahagia dan apa yang dilakukanya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya.
Tidak jauh berbeda, menurut Ki Hajar Dewantara,  pendidikan adalah suatu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya ialah bahwa pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan yaitu sebuah proses pembelajaran bagi setiap individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai obyek tertentu dan spesifik. Pengetahuan yang diperoleh secara formal tersebut berakibat pada setiap individu yaitu memiliki pola pikir, perilaku dan akhlak yang sesuai dengan pendidikan yang diperolehnya.
Perlu ditegaskan bahwa, semangat dalam penyelenggaraan pendidikan di kota, pinggiran kota dan bahkan pedalaman atau perdesaan memiliki tujuan yang sama, yaitu mendidik dan membantu anak didiknya menjadi manusia yang berpengetahuan luas (intelektualitas tinggi), sehingga mampu merealisasikan tujuannya dan dapat bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika devinisi dan pengertian pendidikan demikian kita sepakati, sudah seharusnya dan semestinya pendidikan tidak terkoptasi dalam paradigma pendidikan “unggulan” maupun “terbelakang”. Karena semangat penyelenggaraan pendidikan sama, ingin melahirkan kaum terdidik yang tingkat intelektualitasnya tinggi serta mendorong peserta didiknya agar mampu mencapai tujuannya, tentunya dapat bermanfaat bagi dirinya, lingkungannya, serta hidup orang banyak.
Terjadinya ketimpangan dalam dunia pendidikan disebabkan oleh banyak faktor, termasuk perhatian pemerintah bagi penyelenggara pendidikan yang berada di pinggiran perkotaan, pedalaman atau perdesaan. Lemahnya tranformasi teknologi dan dukungan sumber daya manusia sebagai tenaga pengajar dan tak kalah gawatnya adalah ketersediaan bangunan sekolah dan daya dukung aktivitas belajar mengajar lainnya juga menjadi hambatan serius tercapainya tujuan penyelenggaraan pendidikan.
Disamping itu, stakeholder (masyarakat) juga berperan penting dalam menyukseskan penyelenggaraan pendidikan. Perhatian serta dukungan masyarakat juga sangat diperlukan, agar penyelenggara pendidikan mampu memaksimalkan perannya dalam mendidik dan menghasilkan peserta didik yang sesuai dengan tujuan dasar pendidikan.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan terhadap mutu pendidikan juga harus mawas diri, perhatian yang hanya terpusat pada pembangunan perkotaan sudah semestinya harus digeser untuk memajukan daerah pedalaman maupun perdesaan. Agar pendidikan menjadi manfaat bagi perkembangan serta pembangunan bangsa dan negara kedepan, penting untuk dilakukan supaya pemerataan pendidikan antara perkotaan dengan perdesaan segera terealisasikan.
Maka kesan diskriminatif terhadap pendidikan yang notabene berada di perkotaan dengan di perdesaan tidak terjadi. Keadilan dalam mengenyam pendidikan dengan mutu yang sama antara perkotaan dengan perdesaan akan dirasakan oleh pelajar yang sedang mengikuti jenjang pendidikan secara formal. Tidak terkoptasi oleh paradigma yang merugikan dunia pendidikan itu sendiri.
Pemerintah dan stakeholder sudah saatnya membuang jauh-jauh paradigma pendidikan “unggulan” maupun “terbelakang” yang akan menyebabkan kita terjebak dalam pengertian dan pemahaman yang sempit, kini saatnya bahu-membahu mendorong penyelenggara pendidikan agar supaya mampu mencapai tujuan pendidikan itu sendiri. Sehingga tanggungjawab suksesnya penyelenggaraan pendidikan tidak hanya terbebankan kepada pemerintah dan pihak penyelenggara saja, namun peran stakeholder juga menjadi penentu susksesnya penyelenggaraan pendidikan.
*)Aktivis  di Kota Malang