Ekonomi berbagi yang kini tengah diadopsi sejumlah
usaha rintisan di Indonesia tak hanya memiliki keunggulan. Ada kecenderungan
konsep ini dibajak pemilik modal. Akibatnya, keuntungan yang seharusnya dibagi
ternyata tetap terpusat di segelintir orang.
Ekonom Universitas Atma Jaya Jakarta, Agustinus
Prasetyantoko, ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (29/3), berpendapat, ekonomi
berbagi (sharing economy) adalah sebuah konsep ekonomi yang
sejatinya sudah ada sejak lama. Contohnya adalah ekonomi gotong royong seperti
koperasi dan arisan. Seperti dilansir dari Kompas, 30 Maret 2016.
Ekonomi berbagi yang sering disebut-sebut dalam
konteks mutakhir, menurut Prasetyantoko, adalah konsep ekonomi berbagi yang
digabungkan dengan teknologi informasi. Namun, keduanya memiliki perbedaan mendasar,
yakni menyangkut pemerataan keuntungan atas kegiatan ekonomi yang dihasilkan.
Ekonomi gotong royong dan arisan misalnya adalah
bentuk konsep ekonomi berbagi konvensional yang benar-benar memeratakan
keuntungan kepada semua anggota atau unit usahanya. Sementara ekonomi berbagi
dalam konsep modern yang berbasis teknologi informasi justru cenderung
melebarkan kesenjangan pendapatan. Alasannya, keuntungan akan dikapitalisasi
penyedia teknologi informasi.
Beberapa informasi yang dikumpulkan Kompas menunjukkan, tidak sedikit para pemilik
modal hanya memperjualbelikan usaha rintisan (start up) dan tidak
membangun bisnis dengan konsep ekonomi berbagi secara serius.
Ekonomi berbagi dalam konsep modern, masih menurut
Prasetyantoko, cenderung mempersempit lapangan kerja. Ini karena rantai ekonomi
konvensional dipangkas menjadi pendek. Di satu sisi, hal ini membuat konsumen
menikmati harga lebih murah. Namun, di sisi lain, mereka yang bekerja di mata
rantai konvensional akan gulung tikar.
"Efek ekonomi berbagi berbasis digital memang
memperpendek mata rantai ekonomi sehingga kesempatan kerja menjadi berkurang
sangat signifikan. Dan implikasinya sektor-sektor konvensional yang tak bisa
menyesuaikan sistem ini akan mati. Secara umum, ini memberikan kesempatan kepada
konsumen untuk menikmati harga yang lebih murah. Tapi, buat dunia usaha, makin
terbatas ruang geraknya," kata Prasetyantoko.
Meski demikian, Prasetyantoko menekankan, ekonomi
berbasis teknologi informasi adalah fenomena yang tak terelakkan lagi. Oleh karena
itu, pemerintah mesti memfasilitasinya melalui penyesuaian regulasi yang
memiliki prinsip-prinsip jelas. Prinsip yang dimaksud meliputi kualitas
pelayanan dan perlindungan terhadap konsumen harus prima serta persaingan usaha
yang adil dan sehat.
Saat yang sama, pemerintah harus mengusahakan akses
teknologi informasi seluas-luasnya kepada masyarakat Indonesia.
Kapitalisme
bentuk baru
Secara terpisah, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara, Herry Priyono, berpendapat, kemunculan aplikasi yang merupakan
produk dari ekonomi berbagi merupakan bentuk lain dari model bisnis di dalam
sistem kapitalisme.
"Ya, aplikasi itu wajah baru kapitalisme
saja," kata Herry ketika dihubungi. Ia menjelaskan, wajah baru kapitalisme
itu dengan mengutip istilah perusakan kreatif (creative destruction)
yang diperkenalkan ekonom Joseph Schumpeter untuk melukiskan kinerja
kapitalisme. Mekanisme kapitalisme menciptakan (creation)
lahan-lahan baru bisnis dengan menghancurkan cara-cara bisnis lama dan itu
terjadi secara terus-menerus. Selain itu, bisnis berbasis ekonomi berbagi juga
tidak terlepas dari peran pemodal besar asing yang agresif.
Menurut Herry, konsep berbagi di dalam industri
aplikasi hanya melihatnya dari sisi efisiensi manajemen. Namun, hal itu
mengabaikan keruwetan persoalan yang ada.
"Klaim bahwa bisnis itu merupakan bentuk
sosialisme tidaklah tepat," kata Herry. (Oci)