Kritik untuk Ekonomi Berbagi -->

Iklan Semua Halaman

Kritik untuk Ekonomi Berbagi

Sabtu, 02 April 2016
Ekonomi berbagi yang kini tengah diadopsi sejumlah usaha rintisan di Indonesia tak hanya memiliki keunggulan. Ada kecenderungan konsep ini dibajak pemilik modal. Akibatnya, keuntungan yang seharusnya dibagi ternyata tetap terpusat di segelintir orang.

Ekonom Universitas Atma Jaya Jakarta, Agustinus Prasetyantoko, ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (29/3), berpendapat, ekonomi berbagi (sharing economy) adalah sebuah konsep ekonomi yang sejatinya sudah ada sejak lama. Contohnya adalah ekonomi gotong royong seperti koperasi dan arisan. Seperti dilansir dari Kompas, 30 Maret 2016.

Ekonomi berbagi yang sering disebut-sebut dalam konteks mutakhir, menurut Prasetyantoko, adalah konsep ekonomi berbagi yang digabungkan dengan teknologi informasi. Namun, keduanya memiliki perbedaan mendasar, yakni menyangkut pemerataan keuntungan atas kegiatan ekonomi yang dihasilkan.

Ekonomi gotong royong dan arisan misalnya adalah bentuk konsep ekonomi berbagi konvensional yang benar-benar memeratakan keuntungan kepada semua anggota atau unit usahanya. Sementara ekonomi berbagi dalam konsep modern yang berbasis teknologi informasi justru cenderung melebarkan kesenjangan pendapatan. Alasannya, keuntungan akan dikapitalisasi penyedia teknologi informasi.

Beberapa informasi yang dikumpulkan Kompas menunjukkan, tidak sedikit para pemilik modal hanya memperjualbelikan usaha rintisan (start up) dan tidak membangun bisnis dengan konsep ekonomi berbagi secara serius.

Ekonomi berbagi dalam konsep modern, masih menurut Prasetyantoko, cenderung mempersempit lapangan kerja. Ini karena rantai ekonomi konvensional dipangkas menjadi pendek. Di satu sisi, hal ini membuat konsumen menikmati harga lebih murah. Namun, di sisi lain, mereka yang bekerja di mata rantai konvensional akan gulung tikar.

"Efek ekonomi berbagi berbasis digital memang memperpendek mata rantai ekonomi sehingga kesempatan kerja menjadi berkurang sangat signifikan. Dan implikasinya sektor-sektor konvensional yang tak bisa menyesuaikan sistem ini akan mati. Secara umum, ini memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menikmati harga yang lebih murah. Tapi, buat dunia usaha, makin terbatas ruang geraknya," kata Prasetyantoko.

Meski demikian, Prasetyantoko menekankan, ekonomi berbasis teknologi informasi adalah fenomena yang tak terelakkan lagi. Oleh karena itu, pemerintah mesti memfasilitasinya melalui penyesuaian regulasi yang memiliki prinsip-prinsip jelas. Prinsip yang dimaksud meliputi kualitas pelayanan dan perlindungan terhadap konsumen harus prima serta persaingan usaha yang adil dan sehat.

Saat yang sama, pemerintah harus mengusahakan akses teknologi informasi seluas-luasnya kepada masyarakat Indonesia.

Kapitalisme bentuk baru

Secara terpisah, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Herry Priyono, berpendapat, kemunculan aplikasi yang merupakan produk dari ekonomi berbagi merupakan bentuk lain dari model bisnis di dalam sistem kapitalisme.

"Ya, aplikasi itu wajah baru kapitalisme saja," kata Herry ketika dihubungi. Ia menjelaskan, wajah baru kapitalisme itu dengan mengutip istilah perusakan kreatif (creative destruction) yang diperkenalkan ekonom Joseph Schumpeter untuk melukiskan kinerja kapitalisme. Mekanisme kapitalisme menciptakan (creation) lahan-lahan baru bisnis dengan menghancurkan cara-cara bisnis lama dan itu terjadi secara terus-menerus. Selain itu, bisnis berbasis ekonomi berbagi juga tidak terlepas dari peran pemodal besar asing yang agresif.

Menurut Herry, konsep berbagi di dalam industri aplikasi hanya melihatnya dari sisi efisiensi manajemen. Namun, hal itu mengabaikan keruwetan persoalan yang ada.

"Klaim bahwa bisnis itu merupakan bentuk sosialisme tidaklah tepat," kata Herry. (Oci)