Oleh: Miqdad Husein*
Beruntung datang bulan Ramadhan tak lama usai Pilkada Jakarta dan
daerah lainya, kata seorang kawan. Dengan kedatangan Ramadhan atmosfir
panas Pilkada Jakarta dan daerah lainnya diharapkan turun kembali menuju
tensi normal. Berbagai polemik bernada kasar, berupa makian dan sumpah
serapah diharapkan kembali mencair berubah menjadi keramahan khas
masyarakat negeri ini.
Perbedaan pilihan politik sempat membelah masyarakat negeri ini.
Bukan hanya antar pemeluk agama. Di antara sesama ummat beragamapun
terjadi perpecahan tajam luar biasa sehingga sempat identitas keramahan
negeri ini menguap tanpa bekas.
Ya, melalui moment Ramadhan, yang diyakini mayoritas penduduk negeri
ini yang beragama Islam sebagai bulan suci, kemampuan kontrol dan
pengendalian diri masyarakat kembali berfungsi. Kebersamaan sebagai
warga negara tertata kembali. Bukankah di bulan penuh berakah ini salah
satu unsur paling penting yang dikedepankan pengendalian diri? Tidak
gampang marah, tidak mudah emosi, tidak mudah melemparkan prasangka
apalagi fitnah dan perilaku buruk lainnya. Begitulah muatan spiritual
dan moral Ramadhan.
Tak perlu lagi menghiasi wall facebook, twitter dan lainnya dengan
kebencian, manipulasi data dan fitnah. Buang prasangka yang
membangkitkan amarah dan permusuhan. Jangan lagi ada permusuhan dan
dusta di antara anak bangsa.
Yang juga tak kalah penting semangat Ramadhan terkait kepedulian
antara sesama diharapkan mengembalikan kebersamaan antar masyarakat.
Yang sebelumnya saling berseberangan karena beda dukungan, berbarengan
kembali. Berkumpul bercengkrama kembali. Bukankah Ramadhan mengajarkan
semangat persaudaraan? Apalah artinya puasa jika masih menganggap orang
yang berbeda pilihan sebagai seteru. Lagi-lagi inilah keberuntungan
kedatangan Ramadhan.
Ibadah puasa memang sangat sarat pesan kemanusiaan. Dalam praktek
peribadatan puasa bahkan manusia diperintahkan merasakan langsung
kondisi sosial orang lain yang mengalami kehidupan kurang beruntung. Ada
dorongan keras membangun relasi kemanusiaan melalui rasa lapar mereka
yang menjalani puasa.
Melalui rasa lapar dalam menjalankan puasa diharapkan terjalin
hubungan kemanusiaan tanpa lagi ada batas-batas dalam bentuk apapun.
Manusia melalui puasa dikembalikan pada jati diri aslinya sebagai
manusia. Bahwa manusia itu sama, yang berbeda –meminjam istilah Mohammad
Sobari- hanya kurungannya. Jadi jangan karena hanya beda kurungan lalu
dibentangkan jarak lebar seakan tak bisa lagi bertemu.
Bila beda kurungan saja tidak menghalangi kebersamaan dan
persaudaraan apalagi yang memiliki identitas sama sebagai sesama muslim.
Terasa menyedihkan jika kesamaan kemusliman terperangkap pertikaian
hanya karena perbedaan pilihan politik. Sebuah kepahitan yang pernah
menghiasi perhelatan Pilkada terutama Pilkada Jakarta sehingga persoalan
mensolatkan jenazahpun menjadi pertentangan keras.
Seperti pernyataan kawan di atas, harapan nilai keberuntungan
kedatangan Ramadhan yang paling sederhana kembalinya suasana
kebersamaan. Melalui pencerahan dan penyegaran nilai kemanusiaan ikatan
persaudaraan sesama muslim diharapkan terbangun kembali. Keterbelahan
sisa Pilkada disambungkan lagi melalui perasaan senasib sepenanggungan.
Demikian pula hubungan antar masyarakat –tanpa membedakan ikatan
keagamaan- dijalin kembali. Bukankah rasa lapar yang dirasakan mereka
yang berpuasa menerobos lintas batas merasakan nestapa orang lain tanpa
pertimbangan keterikatan keagamaan. Karena itu selayaknya jalinan
hubungan sosial terangkai kembali untuk kemudian bersinergi membenahi
dan menyelesaikan berbagai persoalan di negeri ini.
Selamat berpuasa, jalin kebersamaan sesama menuju Indonesia yang lebih baik. (*)