Komaruddin Hidayat (Wikipedia) |
Sehabis
menyaksikan gerhana matahari total di Palu, 9 Maret lalu, saya makan siang satu
meja di rumah dinas gubernur Sulawesi Tengah bersama Jusuf Kalla dan Imam
Daruquthny, intelektual Muhammadiyah; serta Farid Masdar Mas'udi, kiai
intelektual Nahdlatul Ulama.
Jusuf Kalla (JK) mengatakan, para ilmuwan jauh-jauh
hari sudah bisa menghitung, tanggal, jam, dan tempat kapan dan di mana gerhana
matahari total bisa disaksikan. Ratusan ilmuwan asing berdatangan ke Palu untuk
menyaksikan fenomena alam langka ini. Ternyata perhitungannya tepat. Jarak
putar bulan dan matahari bisa dihitung secara ilmiah.
Lalu, dia bertanya kepada dua intelektual
Muhammadiyah dan NU itu, apakah susahnya umat Islam Indonesia menentukan
datangnya Ramadhan dan Idul Fitri? Tolonglah Muhammadiyah dan NU bermusyawarah
mencari titik temu. Tentu masing-masing harus saling mengalah untuk memperoleh
kesepakatan. Bukankah masalah khilafiah hukum selalu memungkinkan ditafsir
ulang karena masuk wilayah ijtihadi? Anehnya, meskipun
Muhammadiyah dan NU berbeda dalam menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri,
mereka sepakat kembali merayakan tahun baru Hijriah. Ini tidak konsisten.
Dunia
Arab
Menurut JK, kita mesti bersyukur, perbedaan dalam
menentukan awal Ramadhan di Indonesia tentu saja tidak separah perbedaan yang
terjadi di dunia Arab yang mengarah pada peperangan sesama Muslim. Jangankan
bagi orang awam, para pengamat ahli Timur Tengah pun merasa kesulitan
meramalkan kapan dunia Arab akan meraih kedamaian. Infrastruktur dan kebudayaan
Arab yang dibangun ratusan tahun hancur hanya dalam hitungan dekade dan akan
memakan waktu lama untuk memulihkan kembali. Itu pun kalau bisa.
Begitu banyak variabel yang membuat suasana politik
Timur Tengah kian semrawut dan menyedihkan. Sedikitnya, menurut JK, terdapat
tujuh akar persoalan pokok yang saling berkaitan yang tak mudah diselesaikan
bersamaan.
Pertama, sentimen sukuisme yang mengakar kuat di
dunia Arab sejak ratusan tahun lalu yang sewaktu-waktu berpotensi menimbulkan
konflik dan peperangan. Kedua, kemunculan konflik baru gerakan rakyat
pseudo-demokrasi versus penguasa tiran. Gerakan rakyat ini berhasil
menumbangkan Presiden Tunisia Zainuddin bin Ali, disusul jatuhnya Presiden
Mesir Hosni Mubarak, lalu pemimpin Libya Moammar Khadafy, Presiden Yaman Ali
Abdullah Saleh, dan sebelumnya dengan sebab yang berbeda didahului kejatuhan
penguasa Irak Saddam Hussein. Semua itu merupakan tsunami politik di Arab yang
membuat wajah Timur Tengah dan Islam semakin suram, menakutkan, dan sekaligus
mengenaskan.
Ketiga, konflik kelompok Sunni dan Syiah juga telah
memicu krisis politik yang berkepanjangan di Timur Tengah, yang diwakili
terutama oleh Arab Saudi dan Iran, yang hal ini juga menambah runcing fraksi di
Palestina, antara Fatah dan Hamas. Keempat, ditemukannya sumber minyak tidak
saja menjadi sumber kemakmuran, tetapi juga sumber konflik, baik sesama negara
di Timur Tengah maupun kekuatan luar yang ikut berebut ladang minyak.
Kelima, konflik historis antara keluarga Hasyimiyah
di Jordan yang dikalahkan keluarga Saudi setelah bubarnya Kerajaan Usmani, yang
sekarang menjadi penguasa dua kota suci Mekkah dan Madinah. Keenam, kehadiran
dan peran Israel yang didukung Barat, terutama Amerika Serikat, telah menjadi
bisul yang selalu membuat suhu politik dunia Arab panas serta mengakibatkan
derita berkepanjangan rakyat Palestina. Ketujuh, tidak adanya pemimpin kuat
yang disegani di dunia Arab yang mampu menjembatani dan mendamaikan konflik
sesama mereka serta memiliki lobi dan pengaruh kuat dalam panggung internasional.
Setelah keruntuhan Kesultanan Usmani akibat kalah
dalam Perang Dunia I, dunia Islam Arab mengalami krisis kepemimpinan politik
dan peradaban. Wilayah Arab dikapling-kapling oleh Inggris dan Perancis dengan
batas wilayah yang tidak solid karena kebanyakan merupakan padang pasir. Namun,
setelah tahun 1930-an ditemukan ladang-ladang minyak, perbatasan antarnegara
berubah menjadi sangat penting.
Meskipun mayoritas masyarakat Arab berbicara
dengan bahasa yang sama, memeluk agama yang sama, ternyata kesamaan bahasa,
agama, dan daratan tidak bisa menjadi pemersatu. Kabah di Mekkah yang menjadi
kiblat sembahyang dan pusat umrah serta haji seluruh umat Islam belum mampu
menjadi pemersatu masyarakat Arab. Fanatisme etnis dan kepentingan dinasti
tetap saja memunculkan persaingan sengit.
Krisis Suriah yang berlangsung lima tahun terakhir
kian menambah suram wajah Arab. Lebih dari 5 juta jiwa warga Suriah eksodus ke
luar negeri, mayoritas ke Turki. Sekitar 300.000 jiwa tewas akibat konflik
bersenjata. Ironisnya lagi, ratusan ribu imigran ini sebagian justru ditampung
di negara-negara Eropa non-Muslim, korban dari peperangan sesama Muslim. Di
tempat yang baru ini, tak mudah bagi mereka untuk beradaptasi dengan budaya dan
hukum setempat sehingga menimbulkan masalah sosial.
Selama ini, keberadaan negara Israel saja sudah
cukup membuat gaduh dunia Arab, kini ditambah lagi dengan kelahiran NIIS yang
seakan menjadi saudara kandung Israel dalam membuat babak belur dunia Timur
Tengah. NIIS tidak pernah menyerang Israel yang jelas-jelas melakukan agresi
terhadap Palestina. Mengakhiri bincang-bincang seputar kegaduhan yang terjadi
di Timur Tengah, JK mengutip tulisan George Friedman dalam bukunya, The Next 100 Years, ketika terjadi kekacauan di dunia
Islam, khususnya di Timur Tengah, pemenangnya tetap saja Amerika Serikat.
Muslim
non-Arab
Baik Yahudi, Nasrani, maupun Islam, ketika ketiga
agama itu berkembang di luar ranah kelahirannya, telah mendorong lahirnya
budaya dan peradaban baru, produk akulturasi dan sinkretisme antara nilai
keagamaan dan budaya lokal. Sejarah mencatat, puncak peradaban Islam di abad
tengah justru tumbuh berkembang di Iran, Irak, Spanyol, dan Turki. Di empat
wilayah ini, Islam bertemu terutama dengan filsafat Yunani yang sangat
menekankan pemikiran rasional, termasuk masalah ketuhanan dan kenegaraan.
Merasa tertantang oleh pendekatan
filosofis-rasional dan radikal warisan Aristotelianisme, lahirlah
pemikir-pemikir Muslim bintang zaman, misalnya Farabi, Alkindi, Ibnu Sina, Imam
Ghozali, Ibnu Rusyd, dan beberapa nama lain. Mereka bersikap kritis apresiatif
terhadap peradaban non-Arab yang pada urutannya melahirkan peradaban sintetik
dengan basis keislaman. Zaman itu sering dipandang sebagai masa keemasan
peradaban Islam. Jadi, yang dinamakan peradaban Islam sarat dengan muatan unsur
peradaban non-Arab dan non-Islam, dengan cirinya yang humanis, rasional, dan
universal.
Kehadiran Islam ke Indonesia yang kemudian dipeluk
mayoritas rakyat sungguh merupakan keajaiban sejarah. Banyak teori yang
memberikan penjelasan rasional mengapa wilayah Nusantara menjadi kantong umat
Islam terbesar di dunia. Salah satunya adalah melalui jalur perdagangan.
Rempah-rempah menjadi daya tarik pedagang Muslim dari Timur Tengah datang ke
Nusantara sambil menyebarkan agama.
Jika teori ini betul, faktor anugerah alam
memiliki peran signifikan dalam penyebaran Islam di Indonesia. Sesungguhnya tak
hanya Islam, agama lain dan ideologi dunia pun berkembang subur di bumi
Nusantara ini. Dengan kata lain, sejak dulu bumi Nusantara ini telah menarik
orang luar datang ke sini terutama dengan motif ekonomi yang diikuti penyebaran
agama, entah Hindu-Buddha, Islam, atau Kristen. Bahkan, sekarang Konghucu pun
ditetapkan sebagai agama. Yang juga fenomenal, ideologi komunisme yang anti
agama pun pernah berkembang luas di Indonesia yang kini digantikan oleh
ideologi kapitalisme global.
Jadi, di bumi Nusantara ini sejak ratusan tahun
memang telah terjadi kontestasi antar-agama dan ideologi asing. Dalam hal
agama, Islam tampil sebagai pemenangnya. Namun, dalam panggung ekonomi, posisi
Islam tergeser. Meskipun demikian, jangan sampai kontestasi antar-komunitas
agama dan ideologi lalu mengarah pada konflik dan saling menghancurkan seperti
yang terjadi di dunia Arab.
Sekali perang dan saling bunuh dimulai, tak pernah
akan dilupakan oleh masing-masing pihak serta sulit untuk dihentikan. Berarti
kita menciptakan neraka untuk diri kita sendiri. Sebaliknya, mari menjadikan
kehidupan beragama di Indonesia yang menempuh jalan moderat dan damai menjadi
inspirasi dan kontribusi pada dunia.
Komaruddin Hidayat, Guru Besar Fakultas Psikologi
Uin Syarif Hidayatullah. Kompas, 28 Maret 2016.