Foto: Google |
Visi maritim Indonesia perlu dijabarkan ke dalam
satu dokumen kebijakan kelautan yang menjadi rujukan bagi setiap kebijakan
turunan lainnya. Selama ini, visi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tentang
kemaritiman belum terlaksana optimal dan belum ada kepaduan di antara
bidang-bidang yang berada di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and
International Studies (CSIS) Phillips J Vermonte, Selasa (29/3), di Jakarta,
mengatakan, hal itu merupakan kesimpulan awal dari kajian tentang bidang
kemaritiman nasional yang dilakukan lembaganya bersama National Maritime
Institute (Namarin). Kedua lembaga sepakat, Indonesia memerlukan satu dokumen
tunggal yang memuat kebijakan kelautan. Seperti dilansir dari Kompas, 30 Maret 2016.
"Salah satu problem yang saat ini dihadapi
pemerintah dalam mengimplementasikan visi kemaritiman ialah adanya tumpang
tindih regulasi. Ini memicu dampak ikutan berupa berdirinya institusi baru di
bidang kelautan yang punya peran sama dengan institusi sebelumnya. Pada saat
yang sama, hal ini juga membuat bingung karena tidak ada satu panduan mengenai
kebijakan laut kita," tutur Phillips.
Terkait hal ini, lanjutnya, Kementerian Koordinator
Bidang Kemaritiman punya tugas besar untuk merumuskan apa saja yang hendak
dicapai sebagai negara maritim, sebagaimana dicita-citakan pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla.
"Visi kemaritiman harus melibatkan pemerintah
daerah. Pembangunan di laut yang mengabaikan pembangunan di darat juga salah
kaprah. Pasalnya, jika pelabuhan dibangun tetapi tidak dilengkapi dengan
infrastruktur darat seperti jalan, akan sia-sia karena tak ada konektivitas
angkutan yang mempermudah arus barang dari laur ke darat maupun
sebaliknya," kata Phillips.
Integrasi
Kepala Bidang Ekonomi CSIS Jose Rizal Damuri
menyebutkan, rencana pembangunan 24 pelabuhan dalam skema tol laut, jika tidak
diikuti dengan pengembangan kawasan industri dan produksi yang terintegrasi di
kawasan pelabuhan itu, tidak akan membawa manfaat.
"Pelabuhan tidak bisa berdiri sendiri, ia
harus berdampingan dengan pusat industri atau produksi yang terintegrasi di
kawasan tersebut. Tanpa itu, kapal-kapal tidak akan tahu apa yang harus dibawa
dari dermaga menuju pelabuhan selanjutnya. Jika itu yang terjadi, pelabuhan
tidak akan diminati oleh investor," ujarnya.
Di sejumlah pelabuhan, Jose juga melihat belum
adanya kejelasan tentang siapa yang menjadi pemegang otoritas dan siapa
operator pelabuhan. Pelindo sebagai operator pelabuhan sering kali perannya
lebih kuat dibandingkan dengan syahbandar yang merupakan otoritas pelabuhan.
Direktur Eksekutif Namarin Siswanto Rusdi
menuturkan, pemerintah ingin mendorong investasi asing berkembang di pelabuhan.
Namun, persoalan keselamatan dan keamanan pelayaran yang jadi pertimbangan
penting bagi investor belum jadi perhatian pemerintah.
"Sampai saat ini Indonesia belum memiliki coast guard seperti yang diamanatkan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran," ujarnya. (Mil)