Ditunggu, Kebijakan Kelautan -->

Iklan Semua Halaman

Ditunggu, Kebijakan Kelautan

Minggu, 03 April 2016
Foto: Google
Visi maritim Indonesia perlu dijabarkan ke dalam satu dokumen kebijakan kelautan yang menjadi rujukan bagi setiap kebijakan turunan lainnya. Selama ini, visi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tentang kemaritiman belum terlaksana optimal dan belum ada kepaduan di antara bidang-bidang yang berada di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.

Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Phillips J Vermonte, Selasa (29/3), di Jakarta, mengatakan, hal itu merupakan kesimpulan awal dari kajian tentang bidang kemaritiman nasional yang dilakukan lembaganya bersama National Maritime Institute (Namarin). Kedua lembaga sepakat, Indonesia memerlukan satu dokumen tunggal yang memuat kebijakan kelautan. Seperti dilansir dari Kompas, 30 Maret 2016.

"Salah satu problem yang saat ini dihadapi pemerintah dalam mengimplementasikan visi kemaritiman ialah adanya tumpang tindih regulasi. Ini memicu dampak ikutan berupa berdirinya institusi baru di bidang kelautan yang punya peran sama dengan institusi sebelumnya. Pada saat yang sama, hal ini juga membuat bingung karena tidak ada satu panduan mengenai kebijakan laut kita," tutur Phillips.

Terkait hal ini, lanjutnya, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman punya tugas besar untuk merumuskan apa saja yang hendak dicapai sebagai negara maritim, sebagaimana dicita-citakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

"Visi kemaritiman harus melibatkan pemerintah daerah. Pembangunan di laut yang mengabaikan pembangunan di darat juga salah kaprah. Pasalnya, jika pelabuhan dibangun tetapi tidak dilengkapi dengan infrastruktur darat seperti jalan, akan sia-sia karena tak ada konektivitas angkutan yang mempermudah arus barang dari laur ke darat maupun sebaliknya," kata Phillips.

Integrasi

Kepala Bidang Ekonomi CSIS Jose Rizal Damuri menyebutkan, rencana pembangunan 24 pelabuhan dalam skema tol laut, jika tidak diikuti dengan pengembangan kawasan industri dan produksi yang terintegrasi di kawasan pelabuhan itu, tidak akan membawa manfaat.

"Pelabuhan tidak bisa berdiri sendiri, ia harus berdampingan dengan pusat industri atau produksi yang terintegrasi di kawasan tersebut. Tanpa itu, kapal-kapal tidak akan tahu apa yang harus dibawa dari dermaga menuju pelabuhan selanjutnya. Jika itu yang terjadi, pelabuhan tidak akan diminati oleh investor," ujarnya.

Di sejumlah pelabuhan, Jose juga melihat belum adanya kejelasan tentang siapa yang menjadi pemegang otoritas dan siapa operator pelabuhan. Pelindo sebagai operator pelabuhan sering kali perannya lebih kuat dibandingkan dengan syahbandar yang merupakan otoritas pelabuhan.

Direktur Eksekutif Namarin Siswanto Rusdi menuturkan, pemerintah ingin mendorong investasi asing berkembang di pelabuhan. Namun, persoalan keselamatan dan keamanan pelayaran yang jadi pertimbangan penting bagi investor belum jadi perhatian pemerintah.

"Sampai saat ini Indonesia belum memiliki coast guard seperti yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran," ujarnya. (Mil)