Foto: Google |
Serangan
teroris di Paris, Perancis, beberapa waktu lalu dan yang baru saja terjadi di
Brussel, Belgia, serta upaya-upaya memeranginya dalam beberapa tahun terakhir
mencerminkan beberapa perubahan penting dalam domain perang kontemporer. Salah
satu perubahan itu adalah berakhirnya monopoli negara atas kekerasan ketika apa
saja bisa digunakan sebagai senjata pemusnah massal oleh siapa saja.
Simbol-simbol
kemajuan masyarakat sipil di bidang-bidang seperti teknologi komunikasi dan
rekayasa genetik yang selama ini menjadi indikator kesejahteraan kehidupan
damai dalam sekejap bisa diubah menjadi instrumen perang. Bukan hal yang
mengejutkan jika seorang ”fanatik” dengan pengetahuan yang memadai dan
kecakapan teknis yang canggih, yang bisa diperoleh dengan gampang di internet,
mengembangkan wabah penyakit baru yang dikemas dalam bentuk bom atom mini dan
digunakan untuk mengancam penduduk tertentu.
Individualisasi perang
Sudah
tentu kecenderungan ini bukan barang baru. Hanya saja kesadaran orang tentang the death of distance yang berlangsung dalam domain militer
tersebut kian meluas.
Di
saat bersamaan berlangsung proses individualisasi perang. Perang kontemporer
tidak lagi dimonopoli pertempuran dua bala tentara yang bersengketa sejak
individu menjadi kekuatan baru yang melakukan perlawanan terbuka dengan
menggunakan kekerasan terhadap negara. Serangan bom bunuh diri merupakan contoh
ekstrem individualisasi perang.
Aktivis
yang merelakan jiwanya sebagai senjata penghancur dengan kengerian absolut
tidak jarang melihat penindasan atau penjajahan sebagai persoalan yang bersifat
personal. Tak heran jika resistensi dan alat perlawanan menyatu dalam tubuh
sebagai manifestasi pemberontakan self yang terhinakan. Karena itu aksi
teroris bukan hanya memperjuangkan idealitas tertentu, seperti kedaulatan
nasional atau negara agama, tetapi juga sebuah ekspresi identitas yang
terkoyak.
Perubahan-perubahan
ini menimbulkan dampak yang luar biasa. Sementara batas antara wilayah militer
dan masyarakat sipil menjadi kabur, batas antara ”orang yang tersangka” dan
”yang tidak tersangka” yang selalu bisa dibedakan secara tegas oleh aturan
hukum menjadi tidak jelas.
Di
bawah ancaman individualisasi perang, setiap warga negara harus bisa
membuktikan dirinya bukan ancaman jika tidak ingin dicurigai sebagai (calon)
teroris. Setiap orang harus selalu siap-siap ”dicek”, secara kasat- mata dengan
alat pemindai logam ataupun secara diam-diam lewat perangkat intelijen, untuk
alasan-alasan yang tidak terlalu jelas. Ujung-ujungnya individualisasi perang
melumpuhkan demokrasi karena negara sering kali memilih beraliansi dengan
negara lainnya untuk memusuhi warga negaranya sendiri (yang selalu dicurigai
sebagai sumber pelaku teror).
Di
sini, ”musuh” tidak lagi dipahami sebagai sebuah aktor yang memulai
penyerangan, tetapi ditentukan secara sepihak oleh negara yang (merasa dirinya)
terancam sekalipun tanpa bukti-bukti konkret tentang ancaman tersebut. Konsepsi
musuh yang fleksibel yang mengalami proses deteritorialisasi ini memungkinkan
negara-negara kuat mengoperasikan peralatan tempurnya secara sepihak atas nama
keamanan dalam negeri dan mendeklarasikan perang tanpa harus diserang lebih
dahulu.
Lebih
penting lagi, konstruksi musuh yang bersifat fleksibel telah menormalkan dan
melembagakan ”situasi darurat” yang menangguhkan pemberlakuan kerangka legal
terhadap bukan saja teroris, melainkan juga terhadap warga negara sendiri dan
penduduk negara lain. Ketika ini terjadi perang menjadi absolut dan memiliki
karakter ontologis.
Etika dan politik perang
Dalam
modernitas perang tidak pernah menempati posisi absolut sekalipun diakui
sebagai elemen mendasar dari kehidupan sosial. Para pemikir militer modern,
misalnya, melihat perang sebagai sumber kehancuran, tetapi menerima perang
sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan.
Bahkan,
para filosof modern menemukan sisi positif dari perang sebagai bagian dari
upaya mencari kemasyhuran dan pembentukan solidaritas sosial. Meski demikian,
tidak satu pun yang memberikan karakter ontologis kepada perang yang
menempatkannya sebagai kekuatan yang mengatur kehidupan.
Perang
dalam semangat modernitas selalu bersifat dialektis. Setiap momen negatif
berupa kehancuran selalu disertai momen positif berupa penciptaan orde sosial.
Dalam konteks ini gagasan Clausewitz bahwa perang adalah pengecualian yang
terpaksa ditempuh setelah jalan politik menemui kebuntuan menjadi logis. Sebab
perang adalah abnormalitas yang bisa dibenarkan oleh alasan-alasan moral
ataupun alasan-alasan legal.
Akan
tetapi, dalam perang melawan terorisme yang dipimpin negara-negara besar,
argumen Clausewitz harus dibaca secara terbalik. Perang adalah kondisi permanen
yang berlaku, sedangkan politik adalah perang dengan cara yang lain. Sudah
tentu Mao Zedong pernah mengungkapkan argumen terbalik ini. Bagi Mao, politik
adalah perang tanpa pertumpahan darah.
Gramsci
juga menggunakan ”bahasa perang” dalam menjelaskan strategi politiknya ketika
ia mengusulkan wars of
position dan wars of maneuverdalam melawan hegemoni. Akan
tetapi, bahkan kedua aktivis ini berteori tentang perang dalam kondisi darurat,
yakni situasi pemberontakan bagi Mao dan revolusi bagi Gramsci. Apa yang baru
dan melampaui modernitas adalah perang melawan terorisme telah membuat perang
menjadi semacam meta-matriks bagi seluruh hubungan kekuasaan dan teknik-teknik
dominasi terlepas ada tidaknya pertumpahan darah.
Perang
telah menjadi sebuah bentuk pengaturan yang bukan saja mengendalikan
masyarakat, melainkan juga memproduksi dan mereproduksi semua aspek kehidupan.
Perang seperti ini bukan hanya membawa kematian, melainkan ironinya juga
menciptakan kehidupan.
Dekat
dengan itu, etika penggunaan kekerasan oleh suatu negara, seperti just war sekalipun,
tidak lagi ditentukan secara apriori oleh pertimbangan hukum dan moral, tetapi
dibenarkan secara posteriori berdasarkan hasilnya. Serbuan Amerika Serikat dan
sekutunya ke Irak tidak lagi dipersoalkan sebagai aksi sepihak yang melanggar
konvensi internasional. Akan tetapi,perang itu harus dibenarkan karena telah
berhasil menyingkirkan kekuasaan otoriter dan membangun demokrasi.
Eric
Hiariej, Pengajar Di Departemen Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. Kompas, 30 Maret 2016.